Sabtu, 27 Juni 2015

                    SEJARAH KYAI AGUNG LANANG DAWAN PEMECUTAN

KYAYI AGUNG ANOM      

Kyayi Anglurah Pemecutan III / Ida Bhatara Maharaja Sakti Pemecutan, merupakan cikal bakal warga Ageng Pemecutan. Beliau mempunyai banyak istri yang salah satunya berasal dari Belaluan keturunan warga Tangkas. Dan Istri tersebut beliau mempunyai 2 orang putra, yaitu:

1. Kyayi Agung Anom/ Kyayi Agung Lanang Dawan bertempat
    tinggal di Jero Dawan Tegal Denpasar (Jl. Imambonjol No. 36
    Pemecutan Kelod Denpasar Barat)

                                                      2. kyai Agung Lanang Taensiat bertempat tinggal di Jero Gede
                                                          Taensiat (Jl. Nangka No.....  Denpasar Barat).


             Kyayi Agung Lanang Dawan Pemecutan mempunyai 4 orang Istri, yaitu:

1. Istri dari Jimbaran (Putri dari I Mekel Jimbaran) mempunyai 1 orang putra bernama Kyayi Agung
    Gede Jimbaran bertempat tinggal di Jero Dawan Tegal Denpasar

2. Istri dari Tumbak Bayuh mempunyai 2 orang putra bernama kyayi Agung Gede Padang (bertempat     tinggal di Jero Buana agung Padangsambian Kelod), dan kyayi Agung Made Padang (bertempat    
    tinggal di Jero Alangkajeng Denpasar).

3. Istri dari Tegal Kawan mempunyai 2 orang putra bernama Kyayi Agung Gede Banjar (bertempat  
    tinggal di Jero Lanang Dawan Kaginan - di belakang Br. Tegal Gede Pemecutan Kelod), dan
    Kyayi Agung Made Banjar (bertempat tinggal di Jero buana agung padangsambian Bedauhan).

4. Istri dari putri Raja Mengwi Ni Gusti Ayu Suci mempunyai 1 orang putra bernama Kyayi Agung
    Gede Dawan (bertempat tinggal di Jero Agung Dawan Pemecutan Yitdah Kediri Tabanan). Beliau
    meninggal sebelum menginjak dewasa.



Setelah putra putranya membuat Jero masing masing maka diberikan pula rajabrana dan tanah tegalan untuk menjamin kehidupan Jero serta untuk melaksanakan piodalan tiap 6 bulan sekali.
  • Hari Piodalan Pemerajan Jero Dawan Tegal jatuh pada Buda Cemeng Menail bersamaan dengan Piodalan Pemerajan Jero Dawan Kanginan.
  • Hari Piodalan di Pemerajan Buana Agung Padangsambian jatuhpada Soma-Tolu
  • Hari Piodalan Pemerajan Alangkajeng jatuh pada Anggarkasih Perangbakat.
  • Hari Piodalan Pemerajan Buana Agung Bdauhan jatuh pada Umanis Watugunung.

KIYAYI AGUNG ANOM MENDAPAT SEBUTAN KIYAYI AGUNG LANANG DAWAN


Terlahir dengan nama Kyahi Agung Anom beliau mempunyai peranan yang sangat besar bagi sejarah Puri Agung Pemecutan begitu juga bagi keturunan beliau yang bernama A.A. Gede Banjar berperan besar sebagai pimpinan Pasukan Badung dalam mengalahkan Kerajaan Mengwi. Membantu Kerajaan Klungkung Menyerang desa Dawan Kelungkung.
Diceritakan Ida I Dewa Agung Jambe Sakti di Puri Agung Kelungkung yang beribu dari Pemecutan yaitu Anak Agung Istri Jambe yang merupakan adik dari Kiyai Macan Gading Raja Pemecutan Ke II. Ida I Dewa Agung Jambe Sakti bermaksud untuk mengadakan upacara Pitra Yadnya sehingga dipanggillah Bagawanta Kemenuh dan Bagawanta Manuaba serta para sulinggih dan patih Agung.

Pemerajan Jero Dawan Tegal

Didalam pertemuan tersebut beliau menyampaikan maksudnya untuk mengadakan upakara Pitra Yadnya, namun sebelumnya beliau ingin memohon petunjuk dari leleuhur beliau yang sudah meninggal, namun tidak seorangpun yang sanggup melakukan hal tersebut.

Setelah berjalan beberapa bulan lamanya Ida I Dewa Agung Jambe Sakti termenung memikirkan siapa gerangan yang dapat melaksanakan tugas tersebut, beliau teringat akan cerita orang-orang di tepi siring Tabanan tentang kesaktian Ida Pranda Sakti Ender keturunan Brahmana Keniten yang selalu mengembara keseluruh daerah Bali sehingga tidak mempunyai tempat tinggal yang tetap.
Maka dikirimlah utusan keseluruh penjuru Bali untuk mencari keberadaan Ida Pranda Sakti Ender. Setelah berselang beberapa lama maka utusan yang dikirim ke Badung menemukan Ida Pranda Sakti Ender sedang memuput upacara manusia yadnya di desa Sida Karya Sesetan. Para utusan kemudian menyampaikan maksud dan tujuannya menemui Ida Pranda Sakti Ender atas perintah dari Ida I Dewa Agung Jambe Sakti.

Pemerajan Jero Dawan Kanginan Tegal
Setelah mendengar penjelasan utusan tersebut beliau menyanggupi dan minta diantar ke Puri Kelungkung. Setelah sampai di Puri Kelungkung, Ida Pranda Sakti Ender diterima langsung oleh Ida I Dewa Agung Jambe Sakti dan menyampaikan prihal upakara Pitra Yadnya yang akan dilaksanakan tersebut. Segala persiapan telah dilaksanakan dan setelah semuanya siap mulailah Ida Pranda Sakti Ender melaksanakan puja wali. Pada waktu Ida Peranda mengadakan puja layang-layang yang tergantung di Penjor sunari bergerak gerak seperti bersuara manusia.

Ida I Dewa Agung Jambe Sakti kemudian bercakap cakap dengan leluhurnya melalui layang layang tersebut. Demikianlah karena kesaktian dari Ida Pranda Sakti Ender maka apa yang menjadi keinginan dari Ida I Dewa Agung Jambe Sakti akhirnya dapat terwujud dan sebagai rasa terima kasih Ida Pranda Sakti Ender kemudian diangkat sebagai Bagawanta Kerajaan Kelungkung. Brahmana Kemenuh yang merasa tersisih memilih meninggalkan Kelungkung menuju desa Den Bukit namun dalam perjalanan beliau bertemu dengan Ki Barak Panji Sakti.

Dalam pertemuannya tersebut Ki Barak Panji Sakti menawarkan kepada Brahmana Kemunuh untuk menetap di desa Panji. Sedangkan Brahmana Manuaba juga meninggalkan Kelungkung menuju desa Dawan dan membuat pesraman di bukit Abah. Karena merasa tersisih dan kehilangan kepercayaan dari Kerajaan Kelungkung, timbullah rasa kecewa dan sakit hati dari Brahmana Manuaba. Beliau mulai mengabaikan semua perintah Raja Kelungkung.
Ida I Dewa Agung Jambe Sakti mendapat laporan tentang pembangkangan Brahmana Manuaba kemudian memutuskan untuk menghukum Brahmana Manuaba, namun tidak seorangpun utusan yang berhasil mendekat ke desa Dawan, karena baru saja utusan menginjak perbatasan Dawan,

Pemerajan Jero Dawan Kanginan

mereka sudah dihadang oleh ribuan tabuan sirah (tawon) karena beliau mempunyai senjata yang sangat ampuh yaitu sebuah tongkat sakti dan sebuah Kulkul yang berisi rumah tawon.

Bila ada musuh yang mendekat maka dengan sendirinya tanpa dipukul kulkul tersebut akan berbunyi dan semua tabuan sirah yang ada didalamnya akan terbang menyerang musuh dan menyengat sampai mati.Setelah mendapat laporan tersebut, Ida I Dewa Agung Jambe Sakti menjadi sangat marah dan memerintahkan pasukan Kerajaan kelungkung untuk menggempur desa Dawan dari segala arah. Pasukan Klungkung kemudian disambut oleh ribuan tabuan sirah dan korban dari pihak Klungkung sangat banyak sehingga sisanya memilih mengundurkan diri kembali ke Klungkung.

Ida I Dewa Agung Jambe Sakti sangat kesal menyaksikan kekalahan yang dialami laskar Klungkung dan memikirkan cara lain untuk mengalhkan Brahmana Manuaba. Pada suatu hari beliau mendapat firasat bahwa yang dapat mengalahkan Brahmana Manuaba adalah Kerajaan Badung, maka dikirimlah utusan untuk menghadap Raja Badung Ida Bhatara Maharaja Sakti di Puri Agung Pemecutan.

Setelah menghadap utusan kemudian menyampaikan maksud dan tujuannya diutus oleh Ida I Dewa Agung Jambe Sakti untuk meminta bantuan untuk mengalahkan Brahmana Manuaba yang bermukum di desa Dawan. Ida Bhatara Maharaja Sakti minta waktu beberapa hari untuk mempertimbangkan hal tersebut karena hal tersebut akan dibicarakan terlebih dahulu dengan putra putra beliau. Dalam rapat yang diadakan dengan pembesar Puri Pemecutan dan putra putranya beliau menyampaikan permohonan dari Kerajaan Klungkung yang minta bantuan dari Puri Pemecutan untuk mengalahkan Brahmana Manuaba di desa Dawan.

Dalam rapat tersebut akhirnya diputuskan bahwa putra beliau yang bernama kiyai Agung Anom diberikan kepercayaan untuk melaksanakan tugas tersebut. Setelah adanya keputusan tersebut utusan Kerajaan Klungkung sangat gembira dan mohon pamit untuk menyampaikan kesediaan Puri Pemecutan membantu Kerajaan Klungkung.

Setelah mendapat kepercayaan dari ayahnya untuk melaksanakan tugas tersebut, Kyai Agung Anom mohon pamit untuk kembali ke Desa Nyitdah Kediri Tabanan tempat pos pasukannya ditempatkan. Di Pura Gegelang desa Nyitdah, Kyai Agung Anom bertapa semedi mohon petunjuk dari Ida Sanghyang Widhi untuk mengalahkan Brahmana Manuaba di desa Dawan. Dalam semedinya beliau mendapat petunjuk bahwa Brahmana Manuaba hanya dapat dikalahkan oleh api unggun dan dalam melaksanakan tugas tersebut harus bekerjasama dengan cucu dari Brahmana Keniten yang sudah lama bermukim di desa Dawan Kaja (utara).

Kyai Agung Anom sangat gembira mendapat petunjuk tersebut dan segeralah dilakukan persipan untuk menuju desa Dawan. Setelah sampai di desa Dawan segeralah diatur strategi penyerangan dengan cucu brahmana Keniten yaitu penyerangan akan dilakukaan tepat pada tengah hari dan dilarang melakukan penyerangan sebelum api unggun dinyalakan.

Setelah melalui persiapan yang matang maka mulailah penyerangan desa Dawan pada tengah hari, api ungun dinyalakan oleh Brahmana Keniten di puncak bukit Abah dan terlihat sangat jelas dari pos pertahanan Kayai Agung Anom dan memerintahkan pasukannya untuk menyerang desa Dawan dari segala arah.

Mendapat serangan yang mendadak tersebut rakyat desa Dawan sangat terkejut dan tidak sempat sempat memberikan perlawanan sedangkan senjata andalan Brahmana Manuaba berupa tongkat sakti dan tabuan sirah tidak berfungsi karena api ungun yang dinyalakan telah membuat takut tabuan sirah. Brahmana Manuaba akhirnya mengaku kalah dan menyerahkan seluruh desa Dawan beserta rakyatnya kepada Kiyai Agung Anom.

Berita kemenangan pasukan Kiyai Agung Anom akhirnya sampai kehadapan Ida I Dewa Agung Jambe Sakti dan sebagai rasa terima kasih beliau mengundang seluruh laskar Badung ke Puri Klungkung. Ida I Dewa Agung Jambe Sakti minta kepada Kyai Agung Anom untuk menetap di desa Dawan dan akan diangkat sebagai kepala Pemerintahan, namun beliau menolak hadiah tersebut. Untuk mengenang hal tersebut Kyai Agung Anom memutuskan mengambil nama Desa Dawan sebagai namanya sehingga mulai saat itu Kyai Agung Anom berganti nama menjadi Kiyai Agung Lanang Dawan.

Oleh karena tugas telah selesai maka Kiyai Agung Lanang Dawan mohon diri kehadapan Ida I Dewa Agung Jambe Sakti untuk kembali ke Puri Pemecutan. Dalam perjalanan pulang ke Puri Pemecutan Kiyai Agung Lanang Dawan ikut serta warga Brahmana Keniten, warga Brahmana Manuaba dan warga tangkas sebanyak 40 KK.


SEJARAH NAMA BANJAR UNTUK KETURUNAN KIYAYI LANANG DAWAN


Kerajaan Mengwi dan Kerajaan Tabanan adalah dua kerajaan besar di Bali dimana masing masing mempunyai wilayah kekuasan yang sangat luas di Bali. Kedua Kerajaan bertetangga tersebut saling berebut pengaruh untuk menjadi yang terkuat. Adanya persaingan tersebut menimbulkan permasalahan dimana Laskar Mengwi secara tiba tiba mengadakan serangan ke wilayah Kediri yang merupakan wilayah Kerajaan Tabanan.

Adanya serangan tersebut menyebabkan rakyat Tabanan di Desa Kediri meninggalkan wilayahnya dan diambil oleh Rakyat Mengwi.
Pusat pertahanan kerajaan Mengwi yaitu Desa Dadakan karena dari sanalah serangan Kerajaan Mengwi tersebut bermula sehingga sampai sekarang desa tersebut dinamakan Desa Dadakan.

Untuk merebut kembali Desa Kediri Raja Tabanan minta bantuan kepada Kerajaan Pemecutan.
Ida Bhatara Sakti selaku Anglurah (Raja) di Kerajaan Pemecutan kemudian memanggil salah satu putranya yaitu Kiyayi Agung Anom (Kiyayi Lanang Dawan) untuk ditugaskan untuk merebut kembali wilayah kediri yang merupakan wilayah Kerajaan Tabanan.

Keberangkatan laskar Pemecutan tidak langsung menuju Desa Dadakan tetapi membangun perkemahan di Desa Nyitdah Kediri. Dari sanalah Kiyayi Agung Anom mengatur siasat penyerbuan ke desa Dadakan. Setelah persiapan tersebut dirasa sudah cukup dan kekuatan msuh sudah diketahui maka Desa Dadakan kemudian diserang dari 3 penjuru sehingga pertempuran antara laskar Pemecutan dan Laskar Mengwi tidak bisa terhindarkan dan menimbulkan korban yang cukup banyak dikedua belah pihak.

Kiyayi Agung Anom yang langsung memimpin penyerbuan tersebut berhasil memukul mundur laskar Mengwi di Desa Dadakan sehingga Akhirnya laskar Mengwi terdesak dan mengundurkan diri kedesa Mengwitani. Setelah wilayh Kediri berhasil direbut kembali maka Kiyayi Agung Anom menarik kembali Laskar pemecutan ke Desa Nyitdah Kediri.

Sesudah berjalan beberapa tahun laskar Mengwi tidak berani kembali menyerang Desa Kediri maka rakyat kediri membuat bale banjar baru yang diberi nama Banjar Anyar (Banjar Baru).
Sebagai peringatan tanda kemenangan pertempuran di Desa Anyar maka keturunan Kiyayi Agung Anom banyak yang memakai nama akhiran Banjar seperti salah satu putra beliau Anak Agung Gde Banjar dan Anak Agung Made Banjar di Jero Buana Agung Padangsambian.

Raja Tabanan menyambut gembira kemenangan Laskar Pemecutan tersebut dan
menghadiahkan beliau 10 orang warga Tabanan dari warga Pasek dan warga Belayu yang kemudian oleh beliau dibawa Ke Badung dan diberikan tempat tinggal di Banjar Dukuh Anyar Tegal Denpasar.









Pura Gegelang

Di Dukuh Anyar


Pada waktu beliau tinggal di Desa Nyitdah, Kiyayi Agung Anom selalu bersemedi di Pura Gegelang sehingga disana beliau mendapat kewibawaan dan kesaktian sehingga beliau sangat disegani oleh kawan maupun lawan. Sebagai tanda bakti beliau terhadap Ida bhatara di Pura Gegelang maka setelah beliau kembali ke Badung dan menetap di Desa Tegal, beliau
membuat Pelinggih pesimpangan Ida Bhatara Gegelang di Banjar Dukuh Anyar Tegal Denpasar dengan nama Pura Gegelang Dukuh Anyar yang disungsung oleh warga Pasek dan warga Belayu.

MENGAMBIL ISTRI DARI KERAJAAN MENGWI
LAHIRNYA KIYAYI GDE DAWAN

Setelah Wilayah Kediri berhasil direbut kembali dari Kerajaan Mengwi maka untuk mengamankan wilayah tersebut Kiyayi Agung Anom membuat Jero di Desa Nyitdah Kediri. Raja Mengwi yang bernama I Gusti Agung Sakti Blambangan ingin mengadakan hubungan baik dengan Kiyayi Agung Anom setelah peristiwa pertempuran tersebut.

Sebagai pertanda membaiknya hubungan tersebut maka Kiyayi Agung Anom diundang ke Puri Mengwi dan disana Raja Mengwi memberikan putrinya yang bernama Ni Gusti Ayu Suci untuk dijadikan istri oleh Kiyayi Agung Anom. Pada saat pernikahan tersebut Raja Mengwi memberikan 500 warganya yang berasal dari wilayah Penebel, dimana pada saat terjadinya peperangan antara Tabanan dengan Penebel, Kerajaan Mengwi ikut membantu Kerajaan Tabanan sehingga setelah Penebel berhasil dikalahkan Raja Mengwi mengambil sebagian warga penebel yang dianggap pandai dalam ilmu peperangan diantaranya warga Tangkas dan Warga Senggu yang semuanya berasal dari desa Wangaya Gde Penebel.

Setelah acara pernikahan tersebut selesai maka Kiyayi Agung Anom kemudian memboyong istrinya termasuk 500 warga dari Tangkas dan wrga Senggu dan diberikan tempat tinggal di Desa Nyitdah Kediri. Jeri Nyitdah kemudian diganti menjadi Jero Kingetan yang artinya rumah peringatan. Di sebelah Jero Kingetan terdapat pasar Kingetan yang sekarang sudah tidak ada lagi dan ditempat tersebut dibangun Bale Banjar Sengguan khusus untuk warga Senggu.

Pernikahan Kiyayi Agung Anom dengan Putri Raja Mengwi melahirkan seorang Putra yang diberi nama Kiyayi Gde Dawan, dimana pada umur 10 tahun belliau sangat senang bermain layang layang. Sehingga pada suatu ketika setelah beliau bermain layang layang maka timbullah rasa haus beliau sehingga untuk menghilangakn dahaga tersebut beliau ingin sekali minum air kelapa.

Ditempat bermain tersebut terdapat ladang pohon kelapa yang sangat lebat buahnya, beliau kemudian mendatangi pemilik kebun tersebut dan minta diberikan sebutir buah kelapa. Pemilik kebun tidak keberatan asalkan ada orang yang memetiknya. Karena tidak ada orang lagi maka dengan terpaksa Kiyayi Gde Dawan memanjat sendiri pohon kelapa tersebut sehingga tidak beberapa lama beliau berhasil memetik buah kelapa tersebut.

Ketika beliau akan turun kembali, beliau dikejutkan oleh suara kentongan yang meneriakkan bahwa ada pencuri yang sedang mengambil buah kelapa di kebun. Tidak beberap lama sejumlah orang mengelilingi pohon kelapa yang dinaiki oleh Kiyayi Gde Dawan sambil mengacung acungkan goloknya.

Setelah Kiyayi Gde Dawan sampai dibawah beliau kemudian dihakimi secara masal oleh warga desa tersebut sehingga karena luka yang sangat parah maka beliau menghembuskan napasnya yang terakhir. Akhirnya diketahui bahwa warga yang melakukan pengeroyokan tersebut adalah warga Punggakan Wayahan Nyitdah dimana dahulu pernah dikalahkan oleh ayah beliau Kiyayi Agung Anom sehingga dengan cara demikian warga tersebut membalas dendam kepada keturunan Kiyayi Agung Anom.

Namun sebelum Kiyayi Gde Dawan menghembuskan napasnya yang terakhir beliau sempat mengelurkan kutukan sebagai berikut :
  • Karena perbuatan kalian yang tidak mengenal peri kemanusian dan membunuh orang yang tidak bersalah semoga warga Punggakan Wayahan Nyitdah tidak akan menemui kerahayuan (Keselamatan) dan tiap tiap generasi akan ada yang menderita sakit ingatan (gila) dan sebagai pertanda mereka pernah melakukan kesalahan kepada Kiyayi Gde Dawan maka tiap tiap generasi akan ada yang memakai nama Dawan.

Kiyayi Gde Dawan juga ,minta dibuatkan Meru dimana Meru tersebut akan selalu disembah oleh Warga Punggakan Wayahan Nyitdah dan sebagai tanda peringatan di wilayah tersebut diberi nama Mengenang yang akhirnya sekarang berubah nama menjadi Mengening. Kiyayi Agung Anom sangat murung hatinya mendapatkan Putra beliau telah tewas ditangan warga Punggakan Wayahan Nitdah.

Laskar Pemecutan di Desa Nyitdah kemudian memberikan balasan yang setimpal untuk warga Punggakan Wayahan Nyitdah sehingga banyak warga tersebut yang menjadi korban dan yang lainnya mohon pengampunan kepada Kiyayi Agung Anom.

Ni Gusti Ayu Suci hanya mempunyai putra seorang sehingga hati beliau sangat sedih atas meninggalnya putra kesayangan beliau sehingga karena tidak kuat menahan derita beliau sakit keras dan akhirnya meninggal dunia.

Karena kenangan pahit tersebut Kiyayi Agung Anom memutuskan pergi meninggalkan Desa nyitdah disamping karena adanya tugas baru dari ayahanda Beliau Ida Bhatara Sakti sebagai Raja Pemecutan yang memberikan tugas kepada Kiyayi Agung Anom untuk pergi ke Desa Tegal Badung. Di Desa Tegal Badung pada saat itu telah terjadi kekosongan pimpinan dimana dengan runtuhnya Kerajaan Tegeh Kori wilayah tersebut menjadi sangat rawan karena sewaktu waktu bisa terjadi pemberontakan oleh para pengikut setia Arya tegeh Kori.

Pada Saat beliau ke Desa Tegal ,Kiyayi Agung Anom membawa pengikut sebanyak 50 orang terdiri dari warga Tangkas dan warga Senggu. Warga Tangkas diberikatn tempat tinggal di Desa Padangsambian, Wangaya dan Desa Tegal sedangkan warga Senggu diberikan tempat tinggal di Gelogor.

Jero Kingetan lama kelamaan berubah kembali menjadi Nyitdah dimana bekas Jero Kiyai Agung Anom diberikan kepada warga Senggu dan diatas tempat tinggal Kiyayi Agung Anom sampai sekarang tdak ada yang berani membangun rumah karena tempat tersebut sangat angker.

Adanya Pura Gegelang di Desa Nyitdah diserahkan pemeliharaanya pada warga Tangkas dan Senggu yang tersebar di Desa Gegelang sampai Batu Gahing dan Beraban."


PINDAH KE DESA TEGAL
MEMBUAT PERTAHANAN DI DESA TEGAL

Jatuhnya Jero Tegeh Kuri Tegal Di kisahkan Kiyayi Jambe Merik Putra tertua dari Kyayi Jambe Pule Raja Pemecutan I
ingin mempersunting Ni Gusti Ayu Tegeh yang merupaka putri dari I Gusti Made Tegeh di Jero Tegeh Kuri Tegal. Peminangan telah diterima dengan baik dan hari pengambilanpun telah disepakati oleh kedua belah pihak yaitu dua pekan lagi. Namun pada hari yang telah ditentukan telah terjadi sesuatu yang tidak baik dimana Ni Gusti Ayu Tegeh telah terlebih dahulu dikawinkan dengan raja Mengwi.

Kerajaan Mengwi pada saat itu merupakan Kerajaan besar di Bali di mana wilayah kekuasaannya sampai Jembrana sampai dengan wilayah Blambangan terbukti dengan Raja Jembrana adalah putra ketiga dari Raja Mengwi. Disisi lainnya Kyai Jambe Pule pada saat itu baru memulai kekuasaanya di Badung sehingga belum mempunyai pengaruh yang kuat di wilayah tersebut sehingga I Gusti Made Tegeh memutuskan untuk memberikan Putrinya kepada Raja Mengwi.

Kyai Jambe Merik tentunya merasa terhina dengan permainan seperti ini, dan tidak ada pilihan lain selain memberikan pelajaran yang setimpal atas perbuatan I Gusti Made Tegeh.
Pasukan Puri Alang Badung dan Puri Pemecutan kemudian dikerahkan untuk menyerang Puri Tegeh Kuri di Tegal dan pertempuran tidak bisa dihindarkan. Dari pihak Jero Tegeh Kuri banyak yang menjadi korban sehingga I Gusti Made Tegeh memutuskan untuk meninggalkan Jero Tegeh Kuri kearah timur menuju Gianyar.

Setelah rombongan sampai di sebelah utara Batubulan, I Gusti Made Tegeh memutuskan untuk beristirahat dan membuat perkemahan. Dalam pelariannya I Gusti Made Tegeh membawa serta pejenengan berupa keris dn diikuti oleh panjak 200 KK. Setelah beberapa lamanya rombongan I Gusti Made Tegeh berkemah di hutan yang lebat, I Gusti Made Tegeh kemudian datang menyerahkan diri ke Puri batubulan, mohon perlindungan serta mengabdi. I Gusti Made Tegeh diterima dengan baik dan diperkenankan membuat Jero di tengah hutan yang menjadi wilayah kekuasaan Puri batubulan.

Jero tegeh Kuri kemudian dibangun disebelah barat jalan tikungan menuju D
esa Celuk dan diberi nama Jero Tegal Tamu. Sisa anggota keluarga I Gusti Made Tegeh yang masih ditinggalkan di Tegal mohon perlindungan Raja Pemecutan dan sebagai hukumannya kastanya dirurunkan menjadi Gusti Pengaotan yang berarti tidak menepati janji.

Setelah keadaan tersebut berjalan sekian lama maka ada isu isu bahwa terdapat suatu gerakan untuk mengembalikan kekuasaan Puri Tegeh Kuri di Tegal. dari Puri Batubulan. Di wilayah Tegal pada saat itu yang berkuasa adalah Kiyai Tegal Cempaka yang merupakan Saudara dari Ida Bhatara Sakti Raja Pemecutan III. Kiyai Tegal Cempaka merasa bahwa untuk membendung serangan dari pengikut setia Kiyai Tegeh Kuri diperlukan seorang yang sangat tangguh dalam peperangan dan telah berpengalaman dalam mnghadapai situasi seperti itu.
Pilihan beliau jatuh kepada kemenakan beliau yaitu Kiyayi Agung Lanang Dawan yang pada saat itu sedang bertugas di Desa Nyitdah Kediri untuk membantu Kerajaan Tabanan atas perintah Ida Bhatara Sakti Raja Pemecutan III. Setelah adanya persetujuan dari Ida Bhatara Sakti maka Kiyai Tegal Cempaka memutuskan pergi ke Desa Nyitdah untuk menemui Kiyayi Agung Lanang Dawan. Dari hasil pertemuan tersebut Kiyayi Agung Lanang Dawan menyetujui permintaan tersebut dan memutuskan untuk pindah ke Desa Tegal.

Kiyai Agung Lanang Dawan menempati posnya yang baru di desa Tegal dengan membawa serta
warga Kaba Kaba, warga Tangkas, warga Losan, warga Belayu, warga Baluwan, dan warga Pasek Kedangkan. Warga Kaba kaba berasal dari Arya Belang Singa di Kaba kaba yang pada mulanya terlibat dalam suatu pertempuran yang sengit dengan Arya Belog. Arya Belang Singa tersedesak dan hampir dibunuh namun berhasil melarikan diri ke desa Nyitdah Kediri yang merupakan markas Kiyai Agung Lanang Dawan dan mohon perlindungan.

Kiyai Agung Lanang Dawan mau menerima Arya Belang Singa namun kastanya diturunkan menjadi I Gde Kelakan yang berarti pernah dikalahkan. I Gde Kelakan diberi tugas untuk merawat Pura Pekendungan di desa Beraban Nyitdah dan setelah Kiyai Agung Lanang Dawan menetap di Jero Dawan Tegal beliau membuat Pura Pesimpangan Pekendungan yang disesungsung oleh warga Kaba Kaba sampai sekarang.

Lokasi Pura tersebut berada di Jalan Imambonjol disebelah Barat Pura Majapahit. Pertahanan Kiyai Agung Lanang Dawan di Tegal diatur sedemikian rupa sehingga bergelar
Sabit Mangap dengan posisi sebagai berikut
  • Disebelah Barat Pura Batur didirikan Jero Dawan terus berurutan keselatan I Gede Kelakan, I Gede Padang, Warga Tambiyak, Warga Kayumas, Warga Baluwan dan yang paling selatan warga Kaba Kaba menjadi satu dengan Pura Pekendungan.
  • Disebelah Utara Pura Batur didirikan Jero Dawan Kanginan berurutan ketimur warga Losan dan warga kayumas.
Keberadaan Warga Baluwan di Tegal karena tempat tinggal mereka di Belaluan diambil oleh Brahmana Keniten Telaga untuk tempat tinggal.

Dengan pertahanan yang demikian kuat I Gusti Made Tegeh mengurungkan niatnya untuk menyerang kembali desa Tegal dan memutuskan untuk menetap di Desa Tegal Tamu sampai sekarang. Sebelum I Gusti Made Tegeh Kuri menjadi raja Badung, daerah Tegal ada dibawah kekuasaan Ki Pasek Kedangkang dengan pusat pemerintahan ada di Puri Samprangan dibawah pemerintahan Sri Kresna Kepakisan sebagai Raja Bali.

Pasek Kendangkan mendapat tugas dari Dalem Sri Kresna Kepakisan untuk menjaga Pulau Bali bagian selatan untuk mencegah pendaratan musuh di Pantai Kuta. Pasek Kendangkan kemudian membuat tempat tinggal di Tegal tepatnya di sebelah Timur jalan Imam bonjol persis dibelah selatan Pura Pasek sekarang dan disebelah utaranya dibangun tempat persembahyangan para leluhurnya yang deberi nama Pura Pasek Tegal

SEJARAH WARGA KAYUMAS DI TEGAL

Di Jero Tegal Denpasar terjadi keributan dimana warga Kayumas dituduh sebagai biang keladinya. Keputusan diambil oleh Moncol Jero Tegal Denpasar bahwa warga Kayumas dianggap bersalah dan dijatuhi hukuman mati.

Namun sebelum hukuman mati tersebut dilaksanakan warga Kayumas melarikan diri dari Desa Yangbatu dan minta perlindungan kepada Kiyayi Agung Lanang Dawan di Jero Dawan Tegal. Laskar dari Jero Tegal Denpasar sudah bersiap untuk menyerbu warga Kayumas di Yangbatu, kemudian ada laporan bahwa warga Kayumas telah melarikan diri kearah Barat dan menyeberang sungai Badung.

Pengejaran kemudian dilakukan sampai ke Desa Tegal dan mereka mendengar bahwa warga Kayumas sudah berada di tangan Kiyayi Agung Lanang Dawan. Pimpinan laskar Jero Tegal Denpasar kemudian menghadap Kiyayi Agung Lanang Dawan supaya menyerahkan Warga Kayumas kepada mereka dan akan dibawa ke denpasar.

Kiyayi Agung Lanang Dawan menolaknya dan minta kepada Laskar Jero Tegal Denpasar untuk kembali dan melaporkan kepada Moncol Jero Tegal Denpasar bahwa Warga Kayumas sudah menjadi kula warga Jero Dawan Tegal.

Warga Kayumas sebenarnya putra Danghtang Kanaka dari Madura dimana beliau adalah penganut agama Budha, adapun kedatangannya ke bali adalah untuk melihat keindahan pulau Bali. Setelah mereka samapai di Desa Kayuan beliau bertemu dengan Ki Bendesa Kayuan dan mempersilahkan Danghyang Kanaka mampir dirumahnya. Ki Bandesa Kayuan adalah keturunan Pasek Gelgel mereka diberikan tugas sebagai Kepala desa oleh oleh Sri Kresna Kepakisan dari Kerajaan Gelgel.

Ki Bendesa tidak mempunyai keturunan karena anak laki laki satu satunya sudah meninggal dunia yang masih tinggal adalah anak perempuannya. Untuk melanjutkan keturunannya Kibendesa Kayuan kemudian menikahkan anak perempuannya dengan Danghang Kanaka sehingga melahirkan dua orang putra. Yang sulung bernama Sira Mas dan adiknya bernama Pangeran Wana Keling. Setelah dewasa Sira Mas kemudian menggantikan kedudukan Ki Bendesa Kayuan dengan sebutan Ki Bendesa Kayumas dimana nama desanya terdahulu Kayuan duganti dengan nama Kayumas.

Sedangkan Dahyang Kanaka dan putranya yang bungsu Wana Keling meninggalkan bali untuk menetap di Majapahit. Adapun keturunan warga Kayumas yang menetap diTegal diberikan tempat di sebelah selatan Pura Pemayun. Demikianlah sejarah Warga Kayumas di Tegal Denpasar

LAHIRNYA ANAK AGUNG GDE JIMBARAN

Kiyayi Agung lanang Dawan selain teguh didalam peperangan juga ahli dalam bidang ilmu pengobatan sehingga nama beliau terdengar sampai keluar wilayah Badung, orang orang yang beliau tolong menaruh bakti dan segan terhadap beliau.

Pada suatu ketika di wilayah Kerajaan Mengwi terjangkit penyakit aneh yang meluas sampai ke Desa Jimbaran yang pada waktu itu masih dibawah kekuasaan Kerajaan Mengwi. Kepala Desa Jimbaran pada waktu itu I Mekel Gde Jimbaran sangat cemas memikirkan keselamatan warganya karena sudah banyak korban yang berjatuhan.

I Mekel Gde Jimbaran kemudian melaporkan wabah tersebut kepada Raja Mengwi I Gusti Made Agung dan dari Raja Mengwi I Mekel Gde Jimbaran di sarankan untuk mengadakan pecaruan dan ngaturang sesajen di Pura Ulun Suwi dan pura pura lainnya yang ada di Jimbaran, namun hal tersebut tidak menghasilkan apa apa malah wabah penyakit semakin meluas di wilayah desa Jimbaran.

Timbul niat
I Mekel Gde Jimbaran untuk mohon pertolongan kepada Kiyayi Agung lanang Dawan di Jero Dawan Tegal sehingga berangkatlah beliau menemui Kiyayi Agung Lanag Dawan di Jero Dawan Tegal. Kiyayi Agung Lanang Dawan menyanggupi permintaan I Mekel Gde Jembaran sehingga pada hari yang telah ditentukan berankatlah beliau diiringi I Mekel Jimbaran. Namun sebelum beliau menuju Desa Jimbaran beliau mohon petunjuk di Pura Uluwatu dan Pura Ulun Suwi.

Kemudian atas asungwara Nugraha Ida Sanghyang Widhi Wasa berangsur angsur wabah penyakit tersebut dapat diatasi sampai akhirnya wabah penyalit tersebut hilang sama sekali di Desa Jimbaran.
I Mekel Jimbaran dan seluruh warga Desa jimbaran sangat gembira atas pertolongan Kiyayi Agung lanang Dawan dan sebagai rasa terimakasih I Gde Mekel Jimbaran menyerahkan putrinya kepada Kiyayi Agung lanang Dawan untuk dijadikan istri.

Dari perkawinan tersebut
lahirlah seorang Putra yang kemudian diberi nama Anak Agung Gde Jimbaran, dimana nama Desa jimbaran diakai sebagai tanda kenang- kenangan dan kepada I Mekel Jimbaran kenang kenangan yang diberikan berupa nama Tegal sehingga di Desa Jimbaran ada Banjar yang bernama Banjar Tegal. Begitupun hingga saat ini tiap tiap pujawali di Pemerajan Jero Dawan Tegal warga Banjar Tegal Jimbaran selalu datang ngaturan sembah bakti.

MEMBANGUN JERO BARU DI DESA PADANGSAMBIAN
BERDIRINYA JERO BUANA AGUNG

Kiyayi Agung Lanang Dawan bermaksud untuk membangun Jero Baru karena Jero yang lama sudah tidak memadai untuk beliau melakukan aktifitas, namun Jero tersebut harus memenuhi beberapa kriteria yang diinginkan oleh beliau. Karena tidak adanya tempat yang ideal di Tegal maka beliau memutuskan keluar dari Desa Tegal untuk selanjutnya menuju Desa Padang Lambih disebelah barat Badung , dimana daerah tersebut masih dibawah kekuasaan Gusti Ngurah batulepang.

Setelah menempuh perjalanan yang cukup lama maka sampailah beliau di Padang Lambih, disana beliau mendapat firasat bahwa Jero yang baru tersebut sangat cocok dibangun di tempat ini. Beliau kemudian memerintahkan kepada
para pengiringnya antara lain Bendesa Subamia, Bendesa Tegeh dan 10 warga Pekandelan diantaranya : leluhuir Nang Ipak, Nang gentah, Nang Maras, Nang Apyod, Nang Semblong, Nang Degur, Nang Gelegeg, Nang Glomokan, Nang Lepud dan Nang keredek untuk membangun tetamanan lengkap dengan Pelinggih Turus Lumbung dan diberi nama Taman sari.

Bendesa Subamia bersemedi di Pura Tabeng yang masih merupakan gegumukan tinggi yang disebut Tegeh Sari dimana tempat tersebut sangat angker karena banyak dihuni oleh makhluk halus. Permohonan Bendesa Subamia dikabulkan, pada suatu malam kelihatan cahaya yang terang benderang jatuh di Pura Tabeng, Bendesa Subamia kemudian mendekati cahaya tersebut yang ternyata sebuah Arug (alat untuk merambas hutan)

Dengan anugrah senjata Arug tersebut maka perambasan hutan dimulai sampai akhirnya hutan tersebut menjadi datar sama sekali sehingga siap untuk dibangun menjadi perkamungan. Dengan selesainya perambasan hutan tersebut maka mulailah dibangun Jero di sebelah timur Pura Taman Sari dimana posisinya diperhitungkan sejajar ke Barat dengan Puri Agung Pemecutan.

Ukuran Luas Jero yang baru disamakan dengan luas Puri Agung pemecutan, ditambah letak Pemerajan Agung. Didalam pembukaan hutan ini
Kiyayi Agung lanang Dawan didampingi oleh kedua putranya yaitu Anak Agung Gde Padang dan Anak Agung Made Padang. Setelah berjalan beberapa bulan lamanya, sampailah berita pembukaan hutan ini di Jero Batulepang.

Gusti Batulepang sangat marah mendengar laporan dari rakyatnya yang mengatakan bahwa ada perambasan hutan disebelah selatan oleh Kiyayi Agung Lanang Dawan bersama putra putranya. Gusti Ngurah batulepang kemudian mengumpulkan semua laskarnya untuk menyerang desa padang Lambih sehingga peperangan tidak bisa terelakkan. Dalam peperangan tersebut laskar Gusti Batulepang dapat dipukul mundur dan Gusti Batulepang gugur dalam pertempuran tersebut sehingga sisa sisa laskarnya tercera- berai melarikan diri ke desa Pererenan sedangkan yang tidak sempat lari akhirnya ditawan dan kastanya diturunkan menjadi orang biasa.

Dengan kemenangan tersebut maka Padang Lambih diganti namanya menjadi Padangsambian dan Jero yang baru dibangun dinamakan Jero Buana Agung. Dengan kekalahan Gusti Ngurah Batulepang tersebut maka wilayah kekuasaan Kiyayi Agung Lanang Dawan di Padangsambian menjadi semakin luas yaitu paling timur Tukad Mati, Batas selatan Desa Umaduwi, , batas selatan Tukad Muding dan batas utara Umagunung. Sebagai kepala Pemerintahan diangkat putranya yaitu Anak Agung Gde padang dibantui oleh adiknya Anak Agung Made Padang.

Setelah Jero Buana Agung selesai dibangun maka dibangunlah Pura kayangan Tiga. Sebagai rasa terimakasih kepada Bendesa Sumabia maka Kiyayi Agung Lanang Dawan - mengangkat Bendesa Subamia sebagai Kepala Desa Padangsambian dengan sebutan Ki Bendesa Abasan karena berjasa besar dalam perambasan hutan Lambih dan mereka juga diperkenankan untuk membuat pura Panti di Pura Desa Padangsambian sekaligus sebagai pemangku Kayangan Tiga.

Ki Berndesa juga diperkenankan membuat pelinggih yang diberi nama Pura Tegeh dilingkapi pelinggih Padmasana. Dan 10 warga pekandelan yang juga berjasa diangkat menjadi Pekandelan Jero dan masing masing diperkenankan membuat pelinggih dengan nunas sari di Pemerajan Agung Padangsambian. Berita kemenangan Kiyayi Agung Lanang Dawan kemudian terdengar oleh I Gusti Agung Rai dari Jero Gde Sempidi yang berada dibawah kekuasaan Kerajaan Mengwi..

Jero Gede Sempidi diperintahkan untuk waspada dengan kemenangan Badung tersebut dan mereka diperintahkan untuk berjaga jaga jangan sampai laskar Badung menjalar ke wilayah Desa Tegal Linggah. Pada suatu malam I Gusti Agung Rai mengirim orang suruhannya sebanyak 40 orang untuk menyusup ke Jero Padangsambian dengan tujuan mengambil benda pusaka berupa Tombak Sableg bersinar.

Setelah mereka sampai di Bangsal yaitu disebelah selatan Lepang mereka berhenti sebentar untuk melepaskan lelah. Ki Bendesa Abasan sebagai kepada Desa Padangsambian telah mendapat firasat yang kurang baik malam itu sehingga laskar padangsambian dikumpulkan untuk menghadap kepada Anak Agung Gde Padang di Jero Buana Agung. Sampai dipertigaan pura Desa Ki Bendesa Abasan berubah pikitan dan bersemedi untuk menjalankan ilmu sesirep.sehingga niat untuk menghadap Anak Agung Gde Padang dibatalkan dan laskar Padangsambian yang dipimpin Ki Bendesa Abasan kembali ke Bangsal.

Sampai di bangsal Ki Bendesa Abasan dan pasukannya sangat terkejut karerna di Bangsal sudah ada pasukan sempidi berjumlah 4o orang lengkap dengan senjata berupa keris dan tombak tetapi dalam keadaan tertidur karena terkena ilmu sesirep oleh Ki Bendesa Abasan. Semua senjata laskar sempidi kemudian dilucuti dan orangnya dbangunkan dari tidurnya, akhirnya laskar sempidi menyerah hidup hidup ke pada laskar Padangsambian dan ke 40 orang tahanan tersebut dibawa ke Jero Buana Agung untuk diserahkan kepada Anak Agung Gde Padang.

Laskar sempidi diberi pengampunan oleh Anak Agung Gde Padang dan diberikan pelihan untuk kembali ke Sempidi atau mengabdi di Padangsambian tetapi dengan syarat mereka tidak diperkenankan lagi memakai gelar wangsanya dan kalau mereka kembali ke Sempidi maka mereka akan diberi julukan I Jerih. Mereka akhirnya memutuskan akan mengabdi di Jero Buana Agung Padang Sambian. Di Jero Gede Sempidi I Gusti Agung Rai sangat gelisah menunggu kabar dari laskar sempidi yang dikirim ke Padangsambian, lama kelamaan akhirnya beliau mendapat berita bawa laskar sempidi yang dikirimnya telah menyerah dan mengabdi di Jero Buana Agung Padangsambian.

Dengan adanya penyusupan tersebut maka Anak Agung Gde Padang semakin waspada dan memrintahkan laskar Padangsambian untuk memperketat pos penjagaan.Pos terdepan ditaruh di desa Tegal Linggah dimana tempat tersebut sangat strategis tempatnya karena daerahnya datar sehingga nampak jelas bila ada musuh yang akan menyerang sehingga sangat cocok dipergunakan untuk perang tanding.

Berita kekalahan laskar Sepidi akhirnya didengar oleh Raja Mengwi dan beliau sangat marah sehingga memanggil kepala pasukannya yang bertugas didaerah Sempidi yang bernama I Kiter dari Desa Kwanji Sempidi. I Kiter adalah oarang kepercayaan Kerajaan Mengwi dimana dalam peperangan tidak pernah kalah dan tidak mempan ditusuk oleh senjata apapun karena ilmunya yang sangat tinggi. Diceritakan I kiter telah menghadap Raja Mengwi dan disaksikan oleh patih Agung dan para Manca Kerajaan Mengwi. I Kiter diberikan perintah untuk menggempur Desa Padangsambian dan I Kiter diperbolehkan untuk memilih orang orang kepercayaannya dalam melaksanakan tugas tersebut.

Sasaran utama penyerangan adalah rumah I Ngetis sebab disanakah pusaka Jero Buana Agung berupa Tombak Sableg disimpan. Raja Mengwi menjanjikan bila I Kiter mampu melaksanakan tugas tersebut maka I Kiter akan dianugrahkan 200 orang rakyat dan I Kiter akan diangkat sebagai Prebekel Sempidi. I Kiter kemudian mengarahkan pasukannya ke Desa Tengal Linggah dan di Desa tersebut laskar Padangsambian telah bersiap siap menyambut kedatangan musuh tersebut.

Pertempuran akhrnya tak terelakkan lagi, korban berjatuhan di kedua belah pihak namun laskar I Kiter berhasil dipukul mundur sehingga menyebabkan I kiter mengamuk bagaikan Banteng kedaton sehingga laskar Padangsambian kewalahan menghadapi serang tersebut. I Kiter benar benar sakti kulitnya tidak terluka sedikitpun terkena senjata dari laskar Padangsambian.

I Ngetis yang membawa sejata Tombak Sableg pusaka Jero Buana Agung kemudian menghadapi I Kiter. Kelincahan I Ngetis memainkan tombak Sableg membuat kemarahan I kiter dan menyerang dengan membabi buta ke arah I Ngetis tetapi serangan tersebut dengan mudah berhasil dipatahkan oleh I Ngetis. Pada suatu kesempatran yang sangat baik I Ngetis berhasil memutar mutar tombak Sableg yang mengeluarkan cahaya kebiru biruan tersebut diatas kepala I Kiter sehingga membuat I Kiter jatuh terpelanting dan menghembuskan napasnya yang terakhir. Melihat pimpinan pasukannya telah tewas maka laskar Sempidi mengundurkan.


A.A. MADE BANJAR PIMPINAN LASKAR BADUNG

PERANG DENGAN KERAJAAN MENGWI

Pada Waktu Kerajaan Mengwi dibawah pemerintahan putra dari yaitu I Gusti Agung SaktiI Gusti Made Agung Alangkajeng hubungan Kerajaan Mengwi dan Kerajaan Badung agak membaik, hal tersebut terjadi karena I Gusti Made Agung langkajeng merelakan putrinya yaitu Ni Gusti Ayu Bongan kawin dengan Angurah Pemecutan III/ Ida Bhatara Maharaja Sakti sehingga melahirkan putra yang dibuatkan Anak Agung Gde OkaJero di Kaleran Kawan. Dan sebagai hadiah perkawinan maka daerah pesisir seseh sampai bukit Uluwatu diberikan kepada Kerajaan Badung , tetapi adanya Pura Ulunsuwi dan Pura Uluwatu harus dipelihara oleh Kerajaan Badung.

Semenjak itu Kerajaan Mengwi dan Kerajaan Badung hidup rukun sebagai suatu keluarga besar demikian seterusnya sampai berjalan empat keturunan. Setelah pemerintahan dipegang oleh I Gusti Agung Bhima Sakti politik pemerintahan Kerajaan Mengwi mengalami perubahan antara lain dengan adanya keinginan untuk mengambil bekas wilayah Mengwi yang diambil oleh kerajaan Badung. Selain itu pada masa pemeritahan I Gusti Agung Bhima Sakti dengan dibantu oleh 2 adipati Agung yaitu Gusti Putu Mayun dan Gusti Made Ngurah timbul kecendrung dari pemuka-pemuka Kerajaan Mengwi untuk bertindak lebih bebas dari kekuasaan Dewa Agung di Klungkung sehingga kerajaan Mengwi mempunyai kedudukan yang sama dengan Kerajaan lain di Bali. Hal demikian tentunya ditentang keras oleh Dewa Agung di Klungkung yang meghendaki agar semua kerajaan di Bali dihimpun dibawah kekuasaan Kerajaan klungkung.

pada awal tahun 1891 mulai timbul kekacauan di Kerajaan Mengwi karena percekcokan antara Raja dengan Adipati Agung Gusti Agung Made Alangkajeng yang terkenal sebagai pimpinan perang yang ulung dan gagah perkasa sehingga beliau mendapat julukan sebagai Macan Kerajaan Mengwi. Gusti Agung Made Alangkajeng mengambil istri dari Puri Arya Tegeh Kuri di Badung dan karena perselisihan tersebut beliau meninggalkan Kerajaan Mengwi dengan membawa pusaka-pusaka Kerajaan dan menetap di Badung.

Selain itu punggawa Sibang juga memperlihatkan sikap bermusuhan dengan Kerajaan Mengwi dan ingin berdiri sendiri, hal tersebut terjadi karena punggawa tersebut dihukum akibat dituduh melakukan tindak pidana melanggar sopan santun. Raja Mengwi minta bantuan Dewa Agung dari Klungkung untuk menengahi persoalan tersebut, akan tetapi campur tangan Dewa Agung ternyata malah merugiakan Kerajaan Mengwi sendiri karena Dewa Agung justru membujuk Punggawa Sibang untuk memberontak terhadap rajanya. Alasan Dewa Agung bertindak demikian karena tindakan raja Mengwi yang menduduki sebagian daerah Negara seusai pemberontakan Cokorde Gde Oka Negara terhadap Dewa Manggis (VII) Raja Gianyar.

Oleh karena itu Dewa Agung dengan didukung oleh Adipati Agung Dewa Agung Rai dengan penasehat Agung Pedanda Ida Ketut Pidada ingin mengail didalam air keruh dan mengadakan campur tangan dalam kekacauan politik di Mengwi. Hubungan Kerajaan Karangasem dan Kerajaan Mengwi erat karena adanya pertalian persaudaraan, maka Dewa Agung Minta bantuan Raja karangasem Gusti Gde Jelantik untuk pergi ke kerajaan Mengwi dengan tujuan untuk mengusahakan perdamaian di sana. Gusti Gde Jelantik bersedia memenuhi permintaan Dewa Agung tersebut. Dewa Agung mengharapkan misi tersebut dapat mencapai hal sebagai berikut :
  1. Permusuhan di Mengwi antara golongan dan ketegangan dengan Kerajaan Badung harus dihentikan.
  2. Menyakinkan Raja Mengwi untuk menghentikan usahanya mendapatkan kebebasan dari Klungkung dan kembali lagi pada keadaan dahulu yaitu Kerajaan Mengwi merupakan bagian dari Kerajaan Klungkung dimana Dewa Agung memegang kekuasaan tertinggi.
  3. Meyakinkan Raja Mengwi agar menarik pasukannya dari daerah Negara dan menghentikan pendudukan di daerah tersebut.
Hasil kunjungan Raja Karangasem menghasilkan kesepakatan bahwa Raja Mengwi bersedia pergi ke Klungkung menghadap Dewa Agung untuk minta Maaf atas keikhlafannya, tetapi dengan syarat Raja Karangasem Gusti Gde Jelantik harus turut serta. Raja Mengwi takut hal yang sama akan menimpanya seperti raja Gianyar Dewa Manggis (VII) pada tahun 1885 diasingkan di Satria ketika akan menghadap Dewa Agung.

Hasil kunjungan Gusti Gde Jelantik telah dilaporkan kepada Dewa Agung dan kedatangan Raja Mengwi ditungu tunggu di Klungkung namun Raja Mengwi tidak muncul muncul. Penundaan keberangkatan Raja Mengwi disebabkan karena Punggawa Sibang tidak bersedia turut serta dengan rombongan Raja Mengwi, Raja Mengwi takut Punggawa Sibang akan mengadakan pemberontakan tatkala dirinya tidak ada di Puri Mengwi. Namun dibalik itu semua ternyata Dewa Agunglah yang memberi nasehat kepada Punggawa Sibang agar tidak ikut dalam rombongan Raja Mengwi ketika menghadap dirinya ke Kerajaan Klungkung.

Ketidakharmonisan hubungan Kerajaan Mengwi dan Badung dimulai ketika Kerajaan Mengwi membendung empelan Tukad Mambal sehingga sawah sawah yang ada di wilayah Kerajaan Badung menjadi kekeringan dan gagal panen yang berkali kali sehingga menimbulkan kepalaran. Dekimian pula di daerah Tegal Linggah , Kerobokan, Mergaya, Abiantimbul, berkali kali Mengwi melakukan pelanggaran dengan memasuki wilayah Badung secara gelap sehingga menimbulkan rasa tidak aman bagi penduduk di wilayah tersebut, untuk mengantisipasi hal tersebut maka Puri Pemecutan mengambil langkah langkah sebagai berikut :
  1. Daerah Mergaya ditugaskan kepada Anak Agung Gde Banjar dari Jero Dawan Kanginan untuk membuat perkemahan di tepat tersebut bersama putra putra beliau.
  2. Daerah Umaduwi ditugaskan kepada Anak Agung Putu Pande untuk membuat perkemahan di Agel Abiantimbul.
  3. Desa Jimbaran ditugaskan Anak Agung Gde Pande dari Jero Dawan Tegal untuk membuat perkemahan di Br tegal Jimbaran.
  4. Daerah Kuta sampai Seminyak ditugaskan kepada Putra putra Kiyai Lanang Ukiran Jero peken Pasah yaitu Jero Seminyak, Jero legian Kaja dan Jero Temacun dipimpin oleh Kiyai Lanang Legian
Diceritakan keadaan disemua fron, infiltrasi laskar Mengwi semakin meningkat, tiap hari terjadi pertempuran kecil-kecilan, masing masing berusaha mengintimidasi satu sama lainnya. Di daerah Sempidi mulai pecah perang antara Pemecutan melawan Mengwi. Laskar andalan Mengwi sudah bersiap-siap disebelah utara sedangkan laskar Pemecutan dipimpin oleh Anak Agung Made Banjar dengan bersenjatakan keris pusaka Rereg Langse, cucu dari Kiyai Agung Lanang Dawan dengan dibantu oleh para Wargi, Tambyak dan laskar Bugis berada di sebelah selatan.

Kedua belah pihak sama sama mengeluarkan senjata andalannya, dari pihak Sempidi mengeluarkan keris Penglipuran dan Ki Sekar Gadung sedangkan laskar Padangsambian mengeluarkan tombak Sableg yang mengeluarkan cahaya biru yang amat ditakuti oleh laskar Sempidi, sebab mereka telah membuktikan keampuhan senjata tersebut pada waktu mereka mengikuti I Kiter menyerang Desa Tegallinggah.

Kiyai Wayan Lemintang di Jero Peguyangan mengirim putranya untuk membantu laskar Padangsambian, mereka menuju desa Benoh dan membuat perkemahan di Petangan Ubung dan sampai sekarang keturunan beliau masih bertempat tinggal di Petangan Ubung. Laskat Bugis diperintahkan maju menuju desa Sibang, disana mereka dihadang oleh laskar Sibang yang sudah siap tempur sehingga pertempuran tidak terelakkan lagi dan menimbulkan korban yang cukup banyak dari kedua belah pihak.

Laskar Bugis menembakkan senjata meriam sehingga tepat mengenai pohon beringin di pasar Sibang sehingga pohon tersebut tumbang dan membuat ketakutan laskar Sibang, Semua laskar Sibang kemudian mengundurkan diri ke Desa Mambal dan laskar Peguyangan dan laskar Bugis terus mengepungnya.Pertemuan di wilayah Sempidi tidak kalah serunya, Laskar Padangsambian dibantu oleh Tambiyak dan laskar Jero Petangan mendesak laskar Sempidi sampai di bencingah Jero Sempidi.

Anak Agung Putu Kuskus, Anak Agung Putu Riyong dan Anak Agung Putu Gde Grejeg pimpinan laskar Pemecutan sedang memburu I Gusti Agung Rai pimpinan laskar Sempidi. I Ngetis dari laskar Pemecutan sedang terlibat pertempuran dengan memutar mutar tombak Sableg sehingga laskar Sempidi banyak yang menemui ajalnya sedangkan sisanya yang masih hidup lari menyelamatkan diri. I Gusti Agung Rai karena sudah terdesak melarikan diri kedalam Jero.Tidak berapa lama dari dalam Jero Sempidi berkibarlah bendera putih tanda menyerah, seorang utusan keluar dari Jero Sempidi membawa bendera putih menuju markas Pemecutan dengan membawa surat.

Dalam surat tersebut I Gusti Agung Rai menyatakan menyerah dan menyatakan tunduk kepada Pemecutan dan siap mengabdi. Anak Agung Made Banjar sebagai pimpinan tertinggi Laskar Pemecutan menerima permohonan tersebut tetapi dengan syarat I Gusti Agung Rai tidak diperkenanan lagi untuk tinggal di Jeronya semula, Jero tersebut akan dihancurkan semua sebagai pembayaran pampasan perang. Untuk pembangunan jero yang baru I Gusti Agung Rai diperkenankan disebelah barat pasar Sempidi. Laskar Padangsambian membongkar semua bangunan di Jero Sempidi.
  • Anak Agung putu Grejeg mengambil keris yang bernama Ki Sekar Gadung dan seperangkat bale gede saka roras meperada. Keris tersebut sampai sekarang masih tersimpan di Pemerajan Jero Dawan Tegal.
  • Putra Kiyai Wayan Lumintang mengambil keris yang bernama Si Penglipuran dan sampai sekarang masih tersimpan di Pemerajan Jero Petangan Ubung.
  • Anak Agung Gde Banjar mengangkut seperangkat bale gede saka roras meperada terus dibangun di Jero Dawan kanginan.
  • Anak Agung Putu Reyong mengangkut bale bale yang telah dibongkarnya dan dibangun kembali di Br Buana Agung.
  • Sedangkan bekas Jero Sempidi disita dibagi oleh 5 kemoncolan Dawan. Masing masing moncol membangun Jero ditempat tersebut.
Setelah pertahan Kerajaan Mengwi di Desa Sempidi, Dalung dan Sibang dapat dihancurkan maka kekuatan induk pertahanan kerajaan mengwi dipusatkan di desa Mengwitani dan diperkuat oleh pasukan andalan Mengwi yaitu Pasukan Terua Batu Bata.

Menlihat situasi demikian Anak Agung Made Banjar sebagai pimpinan tertinggi Laskar Pemecutan berpedapat bahwa jika laskar Pemecutan mengempur daerah tersebut tentunya akan menimbulkan korban yang sangat banyak dari pihak Pemecutan sehingga beliau memutuskan untuk merubah siasat akan menyelinap ke jantung pertahanan musuh didampingi oleh pasukan berani mati laskar Pemecutan.


Anak Agung Made Banjar sendiri yang akan memimpin laskar berani mati tersebut dibantu oleh 4 orang pilihannya dari jero Pekandelan ada yang namanya Nang Semblong. Pada jam 3 pagi berangkatlah Anak Agung Made Banjar bersama 4 orang pengiringnya menuju Mengwi.

Sesampainya di desa Pupuhan, beliau dicegat oleh laskar Mengwi sehingga terjadilah pertempuran namun hal tersebut berhasil diatasninya. Desa tersebut sekarang dinamakan desa Pupuan (Pupuh berarti dikeroyok dan dipukuli)

Pada jam 8 pagi Anak Agung Made Banjar bersama 4 orang pengiringnya telah sampai di bencingah Puri Mengwi, beliau beristirahat sejenak sambil melihat situasi untuk melakukan penyerangan. Anak Agung Made Banjar bersama 4 orang benar benar berjibaku tanpa membawa senjata kecuali kain putih yang dinakan kekudung. Selama berteduh di Bencingan Puri Mengwi sama sekali tidak ada orang yang menaruh curiga kepada Anak Agung Made Banjar bersama 4 orang pengiringnya.

Tanpa disangka sangka keluarlah iringan Raja Mengwi I Gusti Agung Bhima Sakti dengan dikawal oleh pasukan berani mati Taruna Batu Bata yang bermaksud akan muspa ke Pura Taman Ayun. Beliau diusung dengan tandu kebesaran, diapit oleh permaisuri dan para selir semuanya berpakaian serba putih bagaikan orang yang akan maju ke medan perang.

Suasana menjadi sangat hening, rakyat menundukkan kepala memberi penghormatan kepada Raja yang lewat.Kesempatan tersebut tidak disia siakan oleh Anak Agung Made Banjar bersama 4 orang pengiringnya dengan secepat kilat melompat keatas tandu sang Raja. Hal tersebut menimbulkan kepanikan dari Raja dan pengiringnya sehingga pertempuran tidak terelakkan lagi.

I Gusti Agung Bhima Sakti menghunus keris sakti Ki Bintang Kukus yang mengeluarkan cahaya yang gemerlapan langsung ditusukkan ke dada Anak Agung Made Banjar, namun keris tersebut ternyata tidak mampu menembus badan Anak Agung Made Banjar.Perang tanding kemudian dilanjutkan di bawah dan berlangsung dengan sangat hebatnya. Masing masing berusaha secepatnya menjatuhkan lawannya sampai akhirnya Anak Agung Made Banjar mengeluarkan kekudung putih yang membuat Raja Mengwi I Gusti Agung Bhima Sakti jatuh tak sadarkan diri.

Pasukan Taruna Batu Bata kemudian melarikan Rajanya menuju desa Kaba Kaba. Pertempuran kemudian berlanjut antara Anak Agung Made Banjar bersama 4 orang pengiringnya melawan pasukan Taruna Batu Bata, karena lawan yang tidak seimbang 4 orang pengiring Anak Agung Made Banjar tewas dalam pertempuran tersebut. Sedangkan Anak Agung Made Banjar menderita luka yang cukup parah terus mengamuk dengan kekudung putihnya sehingga pasukan Taruna Batu Bata banyak yang menjadi korban, sisanya yang masih hidup lari menyelamatkan diri.

Diceritakan kembali kedaan Raja Mengwi I Gusti Agung Bhima Sakti didalam perjalanan menuju desa Kaba-Kaba masih dalam keadaan belum sadarkan diri, sesampainya beliau di desa Mengwitani menghembuskan nafasnya yang terakhir. Beliau dinyatakan wafat pada tanggal 20 Juni 1891 jam 11 siang. Dengan gugurnya Raja Mengwi I Gusti Agung Bhima Sakti, seluruh masrkas pertahanan Kerajaan Mengwi kehilangan semnagat tempurnya sehingga banyak yang sudah meninggalkan pos pos pertahanannya.

Kedua Adipati Agung Kerajaan Mengwi yaitu Gusti Putu Mayun dan Gusti Made Ngurah dapat menyelamatkan diri ke desa Seseh dan dari tempat tersebut menuju padang cove untuk seterusnya menuju Kerajaan Karangasem menghadap Raja Gusti Gde Jelantik. Pada waktu kedua adipati tersebut menghadap raja Karangasem kontrolir Belanda J.H Liefrinck sedang berada disana dan menurut lasporannya Raja Karangasem memperlihatkan sepucuk surat dari Raja Badung menjawab surat darinya yang mempertanyakan mengapa kerajaan Badung menyerang daerah Sibang.

Jawabannya bahwa hal tersebut dilakukan atas perintah langsung Dewa Agung. Mengetahui hal tersebut kedua adipati sangat menyesalkan sikap Dewa Agung tersebut yang menyarankan kepada Kerajaan Mengwi untuk berdamai dengan kerajaan Badung sehingga Kerajaan Mengwi tidak sempat membangun benteng-benteng pertahanan untuk mengantisipasi serangan tersebut. Raja Karangasem Gusti Gede Jelantik sangat malu karena beliaulah yang menjadi utusan Dewa Agung ke Kerajaan Mengwi untuk menyampaikan amanat dari Dewa Agung tersebut yang ternyata semua itu adalah muslihat untuk menghancurkan Kerajaan Mengwi.

Di Markas besar laskar Dawan Pemecutan di Sempidi setelah mendengar wafatnya Raja Mengwi I Gusti Agung Bhima Sakti, seluruh pasukan diperintahkan maju memasuki Puri Mengwi. Didalam perjalanan menuju Puri Mengwi tidak ada perlawanan yang berarti. Seluruh lascar Dawan Pemecutan sudah berada di sekitar areal Puri Megwi dengan pegelaran bulan sabit, siap tempur sehingga tak satupun warga Mengwi yang berani keluar rumah semuanya bersembunyi di rumah masing-masing.

Sebagian laskar Dawan Pemecutan menyelamatkan pimpinan pasukan Anak Agung Made Banjar yang menderita luka sangat parah untuk dibawa menuju desa Pangsambian. Pada jam 4 sore sampailah rombongan tersebut di Padangsambian dan Anak Agung Made Banjar karena menderita sangat parah akhirnya menghembuskan nafasnya yang terakhir pada jam 6 sore. Namun sebelum beliau meninggal beliau masih sempat memberikan petuah-petuah untuk kelurganya.

Hingga saat ini masih dijumpai benda bend peninggalan sejarah yang berkaiatan dengan perang antara Kerajaan Mengwi dan Badung tahun 1891 diantaranya di Pemerajan Jero Padangsambian masih disimpan Keris bernama Rereg Langse dan tulup yang masih disungsung oleh keturunan Kiyayi Agung Lanang Dawan di Padang Sambian demikian pula keris penglipuran yang dirampas dari kerajaan Mengwi yang kalah di Sempidi dibawah pimpinan putra Kiyayi Wayahan Lumintang masih tersimpan di Jero Peguyangan.

Kembali ke keadaan Puri Mengwi, bendera putih berkibar di di pintu gerbang Puri sebagai pertanda Kerajaan sudah menyerah dan tunduk kepada kekuasaan kerajaan Pemecutan. Dan tidak berapa lama 2 orang utusan keluar dari puri dengan membawa bendera putih berjalan menuju markas laskar Dawan Pemecutan yang sedang membuat tenda di Bencingah Puri mengwi. Utusan tersebut bernama I Gusti Agung Kerug dan I Gusti Agung Bedu keduanya masih kerabat Raja Mengwi dan mereka berdua datang sebagai wakil kerajaan Mengwi untuk mengadakan perudingan dengan pimpinan Laskar Dawan Pemecutan yang sekarang diambil oleh Anak Agung Putu Kukus.

Dalam perundingan tersebut kerajaan Mengwi menyatakan menyerah dan mulai saat ini seluruh daerah kekuasaan Kerajaan Mengwi diserahkan kepada Puri pemecutan dan disertai permohonan agar semua keluarga Puri masih tetap diperkenankan diperkenankan untuk tinggal di dalam Puri. Untuk sementara waktu pimpinan laskar Dawan Pemecutan Anak Agung Putu Kukus dapat menerima hal tersebut tetapi dengan catatan apabila terjadi perbuatan yang dapat merugiakan pihak Pemecutan maka Puri Mengwi akan dihancurkan seperti halnya Jero Sempidi diratakan dengan tanah sebagai pampasan perang.

Setelah kerajaan Mengwi menyerah, maka untuk menjalankan pemerintahan sementara diambil oleh Anak Agung Putu Kukus , dan beliau membangun Puri disebelah utara Puri Mengwi menghadap keselatan bernama Puri Dawan Mengwi.

Laskar Kyai Lanang Kemoning dari Jero Bantanmoning Grenceng ikut mematahkan perlawanan Mengwi dari arah barat. Untuk mengantisipasi terjadinya pemberontakan kembali maka laskar Lanang Kemoning diperintahkan membangun Jero disebelah Puri Mengwi. Untuk melestarikan persatuan seluruh laskar Pemecutan di Mengwi maka dibangun Bali banjar diberi nama Banjar Badung.

Dengan kekalahan tersebut hancurlah Kerajaan Mengwi yang pada masa lampau merupakan salah satu kerajaan besar dan Jaya di Bali. Sebagaimana diketahui pada abad ke 18 Badung masih merupakan bagian dari Kerajaan Mengwi dan baru pada awal abad ke 19 Badung dibawah pimpinan Gusti Ngurah Made Pemecutan/ Maharja Bhatara sakti/ Anglurah pemecutan III melepaskan diri dari Kerajaan Mengwi dan muncul sebagai kerajaan yang berdiri sendiri.

Wilayah bekas kerajaan Mengwi sekarang diduduki oleh Kerajaan Pemecutan Badung untuk wilayah selatan dan wilayah barat dikuasai oleh Kerajaan Tabanan. Dengan dikuasainya desa kapal dan Mengwitani oleh kerajaan Pemecutan maka kerajaan ini mempunyai gubungan langsung dengan Kerajaan Tabanan yang senantiasa diidam-idamkan oleh dua kerajaan ini. Daerah Sibang diperintah langsung oleh Dewa Agung dari Klungkung sedangkan desa Bongkasa, Carangsari dan Angantaka dikuasai oleh Punggawa Ubud Cokorde Gde Sukawati.

Mengapa kerajaan Tabanan ikut serta memperoleh pembagian wilayah dengan jatuhnya Kerajaan Mengwi, karena pada Perang antara Badung dengan Mengwi Kerajaan Tabanan dibawah pemerintahan Raja Singasana ikut serta membantu laskar Badung untuk menundukkan Kerajaan Mengwi. Hubungan antara Kerajaan Mengwi dan Kerajaan Tabanan dalam beberapa tahun terakhir memang kurang baik yang disebabkan oleh beberapa hal.

Ki Gusti Ngurah Teges dari Puri Kaba-Kaba yang ikut berperang dibawah panji Kerajaan Mengwi berhasil ditundukkan dan menyerah pada Puri Kaleran Tabanan, sehingga rakyat dan seluruh wilyah kekuasaanya jatuh ke tangan Kerajaan Tabanan. Melihat keadaan yang demikian Raja Karangasem Gusti Gde Jelantik yang masih mempunyai hubungan kekerabatan dengan Kerajaan mengwi merasa mempunyai tanggung jawab untuk bertindak.

Raja Karangasem ingin pergi ke Mengwi dengan pasukan yang lebih besar untuk memulihkan keadaan dan keamanan di wilayah Mengwi. Untuk itu raja Karangasem minta ijin kepada Dewa Agung untuk melewati wilayahnya dalam perjalanan menuju Mengwi. Permintaan tersebut ditolak oleh Dewa Agung dan hanya 50 orang orang yang dijinkan melalui daerahnya untuk pergi ke Mengwi, itupun tanpa membawa senjata kecuali keris. Dewa Agung khwatir apabila hal tersebut dibiarkan maka keadaan akan semakin kacau dan perang besar tidak akan bisa dihindarkan antara Kerajaan Karangasem dengan Kerajaan Pemecutan Badung.

Dewa Agung kemudian memerintahkan menutup perbatasan Klungkung dengan Karangasem dan memerintahkan dibangun kubu-kubu pertahanan untuk mengantisipasi kemungkinan yang akan terjadi.. Hal tersebut menimbulkan reaksi dari Kerajaan karangasem yang kemudian membangun pula benteng-benteng pertahanan dan pertempuran kecil-kecilan tidak terhindarkan sehingga menyebabkan kedua kerajaan dalam keadaan perang.

Kerajaan Lombok ingin membantu Kerajaan Karangasem dalam peperangan melawan Klungkung, namun hal tersebut diketahui oleh Residen/Komisaris pemerintah Hindia-Belanda di Singaraja M.C Dannenbargh yang mengkwatirkan Raja Selaparang Lombok akan mengail di air yang keruh memanfaatkan setuasi yang demikian. Dalam kunjungannya ke Lombok, M.C Dannenbargh berhasil meyakinkan Raja Selaparang untuk membatalkan keinginannya tersebut sehingga terhindarlah perang yang lebih besar terjadi di daerah Bali.

Sebagai balasan atas tindakan Dewa Agung, maka Raja Karangasem Gusti Gde Jelantik diam-diam memberi ijin kepada punggawa-punggawa Kerajaan Gianyar yang mengalami pengasingan di Karangasem kembali ke daerah asalnya. Oleh karena itu punggawa Abianbase, Punggawa Blahbatuh Gusti Ngurah Made dan Punggawa Sukawati Anak Agung Gde Agung bertolak kembali ke daerah asalnya masing-masing sehingga memaksa punggawa-punggawa yang diangkat oleh Dewa Agung terpaksa kembali ke Klungkung seperti Cokorde Lingsir yang bertugas di Blahbatuh.

Ketiga Punggawa-punggawa tersebut telah kembali ke Gianyar dan menempatkan diri dibawah kekuasaan Raja KarangasemKembali ke keadaan di wilayah Badung Pemecutan, Setelah perang antara Badung dengan megwi berakhir maka tiga serangkai Raja Tabanan, Raja Badung Pemecutan dan Raja Gianyar sepakat untuk mengadakan perjanjian kerjasama di bidang pertahanan. Perjanjian tersebut dilaksanakan di daerah Badung dan Raja Tabanan diwakili oleh Sirarya Ngurah Made Kaleran, sedangankan Raja Gianyar I Dewa Pahang hadir secara langsung dalam acara tersebut.

Di Badung tepatnya di Pura Nambangan Badung ketiga raja tersebut beserta Manca dan pejabatnya masing masing mengangkat sumpah (padewa Saksi) untuk menjalin hubungan persahabatan untuk saling membantu satu sama lainnya. Setelah acara selesai Raja Gianyar I Dewa Pahang kembali ke Puri Gianyar sedangkan wakil Raja Tabanan Sirarya Ngurah Made Kaleran menginap semalam di Puri Pemecutan.

Keesokan harinya rombongan mampir ke Puri Denpasar dan disuguhi hidangan. Ketika rombongan sedang bersantap tiba tiba Sirarya Ngurah Made Kaleran ditikam oleh Kiyai Ngurah Rai dari Jero Beng Kawan dengan keris yang bernama I Ratu Puri kaleran yang merupakan keris anugrah dari Dalem Klungkung. Sirarya Ngurah Made Kaleran tewas ditempat dan seisi puri menjadi panik dan kentongan tanda bahayapun di bunyikan sehingga pengawal Puri berhamburan masuk ketempat kejadian. Kyai Ngurah Rai kemudian ditangkap dan dibunuh di tempat tersebut dan mayatnya ditarik lewat sombah (lubang pembuangan air dibawah tembok) karena saking marahnya rakyat Badung karena kejadian tersebut.

Peristiwa tersebut menyisakan duka yang dalam bagi Kerajaan Badung dan Tabanan dan jenazah Sirarya Ngurah Made Kaleran diusung kembali ke Tabanan dan dimakamkan di tanah kelahirannya. Sirarya Ngurah Made Kaleran setelah meningal diberi julukan I Ratu Karuwek Ring Badung.

Kembali kedaerah Mengwi setelah pemerintahan Anak Agung Putu Kukus berjalan 5 tahun mulai terjadi pemberontakan kecil kecilan oleh rakyat Mengwi yang dipimpin oleh I Gusti Agung Kerug. Namun pemberontakan tersebut dapat dipadamkan dan I Gusti Agung Kerug dapat meloloskan diri menuju desa Angantaka. Keadaan dapat dipulihkan kembali berkat kesigapan laskar Pemcutan mengantisiasi hal tersebut.




sejarah majapahit-bedahulu-pemecutan.blogspot.com

PEMERINTAHAN SETELAH EKSPEDISI MAJAPAHIT DI BALI

Sejarah keberadaan Puri Agung Pemecutan berkaitan dengan ekspedisi Majapahit ke Bali tahun Çaka 1256 (sastining Bhuta manon janma) atau 1334 Masehi untuk menaklukan kerajaan Bedulu dibawah pimpinan Panglima Arya Damar/ Adityawarman. Dalam lontar Purana Bali Dwipa dinyatakan bahwa Arya kenceng adalah anak dari Arya Damar, sebab Arya Damar ketika menyerang Bali bukan pemuda lagi, diperkirakan usia beliau pada waktu diperkirakan 45 tahun. Hal yang sama juga dinyatakan dalam Kitab Usana Jawa yang menyatakan Arya Damar Kenceng Pwa sira “ yang artinya dalam diri Arya Kenceng terdapat darah daging Arya Damar”. Dan hal ini hanya dimungkinkan kalau Arya Kenceng adalah anak kandung Arya Damar yang berhak menerima kedudukan di dalam pemerintahan Dalem Ketut Sri Kresna Kepakisan sebagai ahli waris Arya Damar.


PEMERINTAHAN ARYA KENCENG/ ANGLURAH TABANAN I/ RAJA TABANAN I

Arya Kenceng , beliau adalah penguasa daerah Tabanan, berkedudukan di desa Pucangan atau Buwahan. Satu uraian sejarah yang menguatkan dugaan bahwa Arya Kenceng adalah Anak Arya Damar dinyatakan dalam buku sejarah berjudul Pulau Bali Dalam masa Masa yang Lampau tentang adanya suatu tradisi untuk memberikan suatu jabatan atau kedudukan tertentu dalam pemerintahan kepada anak anaknya untuk menggantikan kedudukan orang tuanya, setelah orang tuanya meninggal atau karena jasa jasa orang tuanya. Pada masa pemerintahan Dalem Ketut Ngelesir di Gelgel Tahun 1380 – 1460. yang menjadi menteri menteri adalah anak anak dari para Arya yang datang ke Bali pada ekspedisi Majapahit untuk menggantikan kedudukan orang tuanya.



Arya Kenceng mengambil istri putri keturunan brahmana yang bertempat tinggal di Ketepeng Renges yaitu suatu daerah di Pasuruan yang merupakan wilayah kekuasaan Kerajaan Majapahit. Arya Kenceng memperistri putri kedua dari brahmana tersebut sedangkan putri yang sulung diperistri oleh Dalem Ketut Sri Kresna Kepakisan dari Puri Samprangan dan putri yang bungsu diperistri oleh Arya Sentong. Dari perkawinan dengan putri brahmana tersebut Beliau berputra :

  • Shri Megada Parabhu / Dewa Raka ( tidak tertarik akan kekuasaan, beliau senang melakukan tapa yoga semadi, mencari kesunyian, mendekatkan diri pada alam semesta dan Tuhan Yang Maha Esa untuk mecari ketenangan dan kedamaian, membangun pesraman di Kubon Tingguh ), mempunyai putri yang dijadikan istri oleh Kepala Desa Pucangan dan mempunyai anak lima orang : Ki Bendesa Beng, Ki Guliang di Rejasa,Ki Telabah di Tuakilang, Ki Bendesa di Tajen, Ki Tegehen di Buahan
  • Shri Megada Natha / Dewa Made / Arya Yasan / Sri Arya Ngurah Tabanan Sri Maganata (Sirarya Ngurah Tabanan I ) memangku jabatan raja menggantikan ayahnya, beliau memerintah dengan bejaksana dan berwibawa sehingga terjaminlah keamanan wilayah Tabanan. Sri Maganata dalam sejarah Pemecutan disebut juga dengan Nama Arya Yasan.

Dari Istrinya yang lain, beliau berputra :

  • Kyayi Ngurah Tegeh Kori menjadi raja Badung berkedudukan di sebelah kuburan umum. Merupakan Putra kandung dari Arya Kenceng yang beribu dari desa Tegeh di Tabanan ( bukan putra Dalem yang diberikan kepada Arya Kenceng, menurut babad versi Benculuk Tegeh Kori / Beliau membangun Kerajaan di Badung, diselatan kuburan Badung ( Tegal ) dengan nama Puri Tegeh Kori ( sekarang bernama Gria Jro Agung Tegal ), karena ada konflik di intern keluarga maka beliau meninggalkan Puri di Tegal dan pindah ke Kapal.
  • Di Kapal sempat membuat Pemerajan dengan nama "Mrajan Mayun " yang sama dengan nama Pemerajan sewaktu di Tegal, dan odalannya sama yaitu pada saat "Pagerwesi". Dari sana para putra berpencar mencari tempat. Kini pretisentananya ( keturunannya ) berada di Puri Agung Tegal Tamu, Batubulan, Gianyar dan Jero Gelgel di Mengwitani ( Badung), Jro Tegeh di Malkangin Tabanan. Di Puri Tegeh Kori beliau berkuasa sampai generasi ke empat. Beliau berhasil membuat bendungan di Pegat dan melahirkan golongan Gusti Di Tegeh.
  • Seorang putri bertempat tinggal di Istana di Buwahan diambil istri oleh Kyayi Asak Pakisan di desa Kapal, tetapi tidak memperoleh keturunan.

Pura Kebon Tingguh
Buahan Tabanan

Arya Kenceng sebagai kepala pemerintahan di daerah Tabanan bergelar Nararya Anglurah Tabanan, sangat pandai membawa diri sehingga sangat disayang oleh kakak iparnya Dalem Samprangan. Dalam mengatur pemerintahan beliau sangat bijaksana sehingga oleh Dalem Samprangan beliau diangkat menjadi Menteri Utama.

Karena posisi beliau sebagai Menteri Utama, maka hampir setiap waktu beliau selalu berada disamping Dalem Samprangan. Arya Kenceng sangat diandalkan untuk memecahkan berbagai persoalan yang dihadapi oleh Dalem Samprangan, karena jasanya tersebut maka Dalem Samprangan bermaksud mengadakan pertemuan dengan semua Arya di Bali. Dalam pertemuan tersebut Dalem Samprangan menyampaikan maksud dan tujuan pertemuan tersebut tiada lain untuk memberikan penghargaan kepada Arya Kenceng atas pengabdiannya selama ini.

  • Wajai dinda Arya Kenceng, demikian besar kepercayaanku kepadamu, aku sangat yakin akan pengabdianmu yang tulus dan ikhlas dan sebagai tanda terima kasihku, kini aku sampaikan wasiat utama kepada dinda dari sekarang sampai seterusnya dari anak cucu sampai buyut dinda supaya tetap saling cinta mencintai dengan keturunanku juga sampai anak cucu dan buyut.
  • Dinda saya berikan hak untuk mengatur tinggi rendahnya kedudukan derajat kebangsawanan (catur jadma) , berat ringannya denda dan hukuman yang harus diberikan pada para durjana. Dinda juga saya berikan hak untuk mengatur para Arya di Bali , siapapun tidak boleh menentang perintah dinda dan para Arya harus tunduk pada perintah dinda.
  • Dalam tatacara pengabenan atau pembakaran jenasah (atiwatiwa) ada 3 upacara yang utama yaitu Bandhusa, Nagabanda dan wadah atau Bade bertingkat sebelas. Dinda saya ijinkan menggunakan Bade bertingkat sebelas. Selain dari pada itu sebanyak banyaknya upacara adinda berhak memakainya sebab dinda adalah keturunan kesatriya, bagaikan para dewata dibawah pengaturan Hyang Pramesti Guru.
  • Demikianlah penghargaan yang kanda berikan kepada adinda karena pengadian dinda yang tulus sebagai Mentri utama “.
Tempat Pemujaan
Arya Kenceng di Buahan Tabanan

Arya Kenceng karena telah lanjut usia, akhirnya beliau wafat dan dibuatkan upacara pengabenan (palebon) susai dengan anugrah Dalem Samprangan yaitu boleh menggunakan bade bertingkat sebelas yang diwariskan hingga saat ini. Adapun roh sucinya (Sang Hyang Dewa Pitara) dibuatkan tugu penghormatan (Padharman) yag disebut batur dan disungsung oleh keturunan beliau hingga saat ini dan selanjutnya.



MASA PEMERINTAHAN SHRI MEGADA NATHA/ DEWA MADE / ARYA YASAN/ SRI ARYA NGURAH TABANAN/ RAJA TABANAN II

Karena Sri Megadaprabu tidak bersedia memegang kekuasaan di Tabanan, maka yang menjadi Raja menggantikan Bhetara Arya Kenceng adalah Sri Megadanata, dengan nama yang lain Sri Ngurah Tabanan. Beliau tidak lupa dengan hubungan baik dengan Dalem yang pada waktu itu adalah Dalem Ketut Ngulesir, yang lebih dikenal dengan Sri Kepakisan yang beristana di Swecapura atau Linggarsapura Sukasada atau Gelgel. Beliau putra dari Sri Kresna Kepakisan ( cucu dari Dalem Wawu Rawuh ) yang mempunyai istana di Samprangan dan merupakan adik dari Dalem Ile.

Beliau Arya Ngurah Tabanan mempunyai tiga orang istri dari keturunan kesatria dan memberikan 8 orang putra Istri Pertama (Warga para Sanghyang) lahir 4 orang putra (menetap di Tabanan):

  1. Nararya Ngurah Tabanan / Sirarya Ngurah langwang (Putra Mahkota)
  2. Kiyai Madhyattara/ Made Kaler – menurunkan Pragusti Subamia ·
  3. Kiyai Nyoman Pascima / Nyoman Dawuh – menurunkan pragusti Jambe (Pamregan) ·
  4. Kiyai Ketut Wetaning Pangkung – menurunkan pragusti Lodrurung, Ksimpar dan Serampingan
Istri kedua (Warga para Sanghyang) lahir 3 orang putra(menetap di Badung) :

  1. Kiyai Nengah Samping Boni – menurunkan pragusti Samping ·
  2. Kiyai Nyoman Ancak – menurunkan pragusti Ancak dan Angligan ·
  3. Kiyai Ketut Lebah – tidak memberikan keturunan karena kesua anaknya perempuan.

Istri ketiga (Putri bendesa Pucangan) lahir 1 orang putra (menetap di Badung):
  1. Kiyai Ketut Bendesa/ Kiyai Pucangan/ Nararya Bandhana

seperti ayah beliau menjalin hubungan yang baik dengan Dalem Ketut di Gelgel (Anak dari Sri Kresna Kepakisan) sebagai sesuhunan Pulau Bali dan karena masih bersaudara sepupu. Karena demikian akrabnya hubungan tersebut ternyata membawa suatu petaka.

Prasasti Mpu Aji Tusan Lembar 7a transkrip halaman 9 menyebutkan Pada suatu ketika Putra Mahkota Dalem Ketut minta tolong kepada Sri Maganata yang masih merupakan pamannya untuk memotong rambutnya yang sudah panjang. Beliau karena demikian akrabnya maka dipototonglah rambut putra mahkota tersebut sampai gundul tanpa persetujuan dari ayahnya.

Memang sudah takdir dari Yang Maha Kuasa, ketika Dalem Ketut melihat anaknya dalam keadaan gundul, beliau sangat terkejut dan mencari tahu siapa gerangan yang melakukan hal tersebut tanpa seijin dirinya.

Hatinya merasa berang setelah mengetahui bahwa Sri Maganatalah yang melakukan hal tersebut, namun beliau berupaya menyembunyikan kemarahannya tersebut serta menanyakan hal tersebut kepada Sri Maganata Setelah mendengar penjelasan dari Sri Maganata hati beliau tetap tidak senang akan hal tersebut dan mengusir Sri Maganata secara halus ke Majapahit untuk menengok keluarganya disana. Mengetahui kemarahan Dalem tersebut tanpa membantah lagi maka berangkatlah Sri Maganata ke Majapahit .

Arya Yasan tinggal di Kerajaan Majapahit kurang lebih 8 tahun, disana beliau berusaha untuk mencari dan menanyakan keluarganya dari keturunan Arya Damar/ Adityawarman, namun pencarian tersebut tidak membuahkan hasil karena Majapahit sudah runtuh tahun 1478 sehingga beliau memutuskan untuk pulang kembali ke Bali.

Setibanya di Bali beliau kemudian mengembara ke gunung gunung untuk menjadi serang pendeta kemudian bertapa. Arya Yasan tidak diperkenankan menyandang kedudukan dan tidak berhak memiliki rakyat demikian pula kedua putra beliau juga mengalami hal yang sama dengan ayahnya. Diceritakan bahwa adik beliau yang paling kecil tinggal diistana yang bernama Bibi Kyahi Tegeh Kori diambil oleh Dalem Gelgel dan diserahkan kepada putra Si Arya Wongaya Kepakisan yang bernama Kyahi Asak yang tinggal di Kapal. Mengetahui adiknya diambil oleh Dalem, beliau marah terhadap Dalem, lalu mengundurkan diri dan menyerahkan kekuasaan pada putranya Sri Arya Longwan / Sri Arya Ngurah Tabanan sebagai Raja Tabanan III.

Puri Pemecutan
Setelah Puputan Badung 1906


Karena perbuatan Dalem yang sewenang-wenang tersebut Arya Yasan menjadi marah dan mengutuk Dalem dan para patih agar selama lamanya terkutuk karena Dalem tidak mematuhi petuah dimasa lampau (antara Arya Kenceng dengan Dalem Kresna Kepakisan ).

Akibat kutukan tersebut Dalem mendapat serangan burung gagak yang senantiasa mengusik hidangan Dalem sehingga beliau menjadi sangat kesal. Beliau Arya Yasan/ Sri Megadanata kemudian menjalani kehidupan suci serta membuat pesraman yang dilengkapi tetamanan dan telaga didaerah Kebon Tingguh yang terletak dibarat daya dari Istana di Pucangan. Pesraman tersebut sekarang sudah menjadi sebuah pura besar yang dinamakan Pura Mentingguh Tabanan yang sekarang disungsung oleh rakyat Tabanan dan Badung.
Diceritakan bendesa Pucangan mempunyai seorang putri yang sangat cantik bernama Sang Ayu Mendesa, diberikan tugas oleh bendesa pucangan untuk melayani kebutuhan sehari hari Arya Yasan/ Sri Megadanata sehingga lama kelamaan tumbuh benih benih cinta kasih diantara keduanya yang dilanjutkan dengan upacara perkawinan.

Pura Kebon Tingguh Buahan Tabanan

Dari perkawinan tersebut lahir seorang putra yang diberi nama Kyahi Ketut Bendesa atau Kyahi Pucangan.
Beliau menerima pusaka demon dan pahleng yaitu supit atau tulup tanpa lubang. Setelah besar beliau diserahkan kepada kakaknya Sri Arya Ngurah Longwan / Sri Arya Ngurah Tabanan dean tetap tinggal di Istana. Tidak berapa lama karena lanjut usia wafatlah beliau dan diadakan upacara sebagaimana mestinya.



KYAYI KETUT BENDESA/ KYAYI PUCANGAN/ SANG ARYA BAGUS ALIT

Kembali lagi ke peristiwa yang menimpa ayah dari Arya Notor Wandira / Arya Notor Waringin yaitu Arya Yasan, Karena perbuatan Dalem yang sewenang-wenang tersebut Arya Yasan menjadi marah dan mengutuk Dalem dan para patih agar selama lamanya terkutuk karena Dalem tidak mematuhi petuah dimasa lampau (antara Arya Kenceng dengan Dalem Kresna Kepakisan ). Akibat kutukan tersebut Dalem mendapat serangan burung gagak yang senantiasa mengusik hidangan Dalem sehingga beliau menjadi sangat kesal. Berbagai usaha sudah dilakukan untuk mengusir keberadaan burung gagak tersebut, namun selalu saja tidak membuahkan hasil.

Terdengar berita bahwa cucu Arya Kenceng di Tambangan yang bernama Sang Arya Bagus Alit / Arya Pucangan mempunyai keahlian nyumpit atau nulup, maka Dalem mengundang Sang Arya Bagus Alit ke Ibukota Kerajaan.

Keberhasilan Sang Arya Bagus Alit mengalahkan burung gagak tersebut membuat Dalem menjadi tersadar dan ingat kembali kepada Sang Arya Yasan ayah dari Sang Arya Bagus Alit yang masih merupakan sepupunya untuk datang ke Puri Gelgel.

Dalam transkrip lontar Museum Bali dalam Pamancangah Badung Mwang Tabanan dan dalam lontar Babad Badung milik Anak Agung Oka Manek dari Jero Grenceng demikian pula prasasti Mpu Tusan diceritakan bahwa dari pertemuan Dalem dengan Arya Yasan tersebut Dalem menyampaikan permohonan maafnya dan mengembalikan kedudukan Arya Yasan sebagai penguasa daerah Tabanan bersama putra sulungnya. Sedangkan Sang Arya Bagus Alit disuruh menetap di Tambangan (Badung) oleh Dalem Gelgel semenjak itu Sang Arya Bagus Alit terkenal dengan nama Dewa Hyang Anulup.

Setelah sekian lama Dewa Hyang Anulup mempunyai seorang putra, beliau kemudian kembali ke daerah Tabanan untuk menetap di daerah Pucangan sehingga diberi nama Bhatara Pucangan. Beliau wafat dan meninggalkan seorang putra yang bernama Bhatara Notor Wandira atau Bhatara Notor Waringin


Tiga orang saudara dari Kiyayi Pucangan Tabanan yaitu Kyayi Samping Boni, Kyayi Nyoman Batan Ancak, Kyayi Ketut Lebah, atas perintah Dalem agar menetap di Badung sebagai pendamping Raja Badung.



SANG ARYA KETUT NOTOR WANDIRA/ ARYA NOTOR WARINGIN

Setelah dewasa Kyahi Ketut Bendesa atau Kyahi Pucangan meninggalkan pesraman dan mengabdi Ke Puri Tabanan yaitu Nararya Ngurah Tabanan / Sirarya Ngurah langwang yang diangkat menjadi Raja Tabanan ke III. Di puri Tabanan beliau tidak diberikan kedudukan yang wajar, beliau hanya diberi tugas sebagai tukang kurung ayam istana. Begitupun untuk tempat tinggal beliau tidak diberikan tempat tinggal di Puri sehingga pada malam hari beliau tidur dirumah-rumah penduduk, pasar ataupun balai banjar.

Pada suatu malam rakyat Tabanan dibuat kaget karena melihat adanya cahaya yang terang benderang namun setelah didekati ternyata berasal dari cahaya ubun kepala Sang Arya Ketut Notor Wandira yang sedang tidur. Berita tersebut akhirnya terdengar oleh Raja Tabanan, dalam hati beliau sangat murung mendengar kesaktian Sang Arya Ketut Notor Wandira tersebut dan khawatir sewaktu waktu akan merebut tahta kerajaan Tabanan, maka dicarilah jalan untuk menyingkirkan beliau.

Di bencingah Puri Tabanan tumbuh pohon beringin yang sangat besar dan sangat angker dimana sebelumnya 10 orang yang diberi tugas untuk memotong pohon beringin tersebut telah tewas dalam menjalankan tugasnya. Timbulah muslihat dari Raja Tabanan bahwa untuk melaksankan tugas berat tersebut akan diserahkan kepada Sang Arya Ketut Notor Wandira. Maka dipanggilah adiknya untuk menghadap dan minta kesanggupan adiknya untuk melaksanakan tugas tersebut.

Arya Ketut Notor Wandira menerima tugas tersebut dan minta waktu beberapa hari untuk mempersiapkan segala sesuatunya. Maka sebelum melaksankan tugas tersebut beliau kemudian ngaturang pakeling di temat tersebut dan selanjutnya bertapa semedi di Pura Batukaru Tabanan mohon keselamatan kepada Ida Sanghyang Widhi Wasa. Karena ketekunannya oleh Bethara di Pura Batukaru beliau mendapat anugrah senjata sakti berupa kapak yang bernama I Cekle.

Maka pagi pagi sekali Arya Ketut Notor Wandira sudah berada di bencingah Puri Tabanan untuk mulai melaksanakan tugas memotong pohon beringin tersebut. Beliau naik sampai ke puncak pohon beringin dan mulai memotong dahan pohon tersebut satu persatu sampai yang tersisa hanya batangnya saja. Diatas pohon tersebut Arya Ketut Notor Wandira bertolak pinggang dan menari nari. Rakyat Tabanan beserta Raja sangat heran dan kagum atas kesaktian Arya Ketut Notor Wandira sehingga mulai saat itu Arya Ketut Notor Wandira diberi gelar Arya Notor Waringin oleh Raja Tabanan karena keberhasilannya memotong pohon beringin yang angker tersebut.

Setelah dewasa Arya Notor Wandira / Arya Notor Waringin mengambil istri dari desa Buwahan yaitu Ni Gusti Ayu Pucangan dan berputra 2 orang yaitu

  1. Kyahi Gde Raka
  2. Kyahi Gde Rai (membuat puri di Kerambitan)


KYAHI GDE RAKA/ KYAHI BEBED/ KYAHI JAMBE POLE / KIYAYI NGURAH PAPAK

Kyahi Gde Raka / Kyahi Bebed mempunyai 2 orang istri. Istri pertama dari buahan mempunyai seorang putra bernama Kyahi Jambe sedangkan istri kedua dari Tumbakbayuh lahir seorang putra bernama Kyahi Tumbakbayuh. Kyahi Gde Raka / Kyahi Bebed sangat senang bertapa beliau ingin mendapatkan kesucian dan kewibawaan sebagai seorang raja, Kyahi Bebed kemudian pergi secara diam diam pada waktu malam hari dari Puri Tabanan, berjalan terlunta lunta sehingga sampailah beliau di Gunung Giri di Beratan yang bernama gunung Batukaru.

Beliau kemudian memusatkan pikiran dan bersemedi untuk memohon berkah. Disana beliau memperoleh petunjuk agar melanjutkan perjalanan ke Gunung Batur untuk menghadap Bhatari Dhanu untuk memohon kejayaan. Lama beliau terlunta lunta dalam perjalanan sampai akhirnya tibalah beliau di daerah Pura Panarajon. Disana beliau kemudian memusatkan pikiran bersemedi mohon petunjuk dari yang maha kuasa. Disana beliau mendapat petunjuk Sanghyang Panrajon untuk melanjutkan perjalanan ke puncak gunung Batur.

Di Pura tersebut beliau bertemu dengan seorang anak kecil hitam kulitnya, gigi putih di Pura Tambyak. Kyahi Gde Raka / Kyahi Bebed kemudian memberi nama itu Ki Tambyak Tudelaga / Ki Andhagala . Tudelaga adalah namanya yang pertama. setelah mendapat petunjuk tersebut, Kiyai Bebed melanjutkan perjalanan ke Gunung Batur dengan diiringi oleh Ki Andhagala dari keturunan Tambyak.

Sampai di puncak Gunung Batur kembali beliau bersemedi dan kelurlah Bhatari Danu yang akan mengabulkan apa yang menjadi keinginan Kiyai Bebed. Namun sebelumnya Bhatari Danu minta kepada Kiyai Bebed untuk menggendongnya ke tengah danau. Kiyai Bebed menyanggupi permintaan tersebut sehingga digendonglah Bhatari Danu ke tengah danau. Namun sungguh ajaib beliau tidak tenggelam beliau seperti berjalan diatas tanah saja, air hanya sampai dipergelangan kaki saja. Ketika sampai di pinggir danau bersabdalah Bhatari Danu bahwa beliau akan mengabulkan permohonan Kiyai Bebed untuk memperoleh kejayaan di daerah Badung.

Akhirnya apa yang menjadi cita cita beliau melalu tapa semadi terkabul dan kelak akan menjadi raja di daerah Badung. Bahkan Bhatari Danu menganugrahkan dua buah senjata yang sangat ampuh berupa pecut dan tulupan, tetapi tiap tiap hari piodalan di Pura Batur senjata ini harus dibawa untuk dibuatkan upakara.

Setelah mendapat anugrah beliau melanjutkan perjalanan ke daerah Badung. Setelah mendapat anugrah tersebut beliau akhirnya pulang ke Buwahan. Diceritakan Nararya Gde Raka meninggalkan Tabanan menuju Badung dan dalam rombongan tersebut ikut serta kedua istrinya dan pengawal yang paling setia yaitu I Negala (Tambiyak).

Setelah menempuh perjalanan yang sangat jauh sampailah rombongan tersebut di perbatasan utara kerajaan Badung yaitu Desa Lumintang. Pada waktu itu ada seorang yang datang menyapa bernama I Kaki Lumintang. Nararya Gde Raka mengajukan permohonan agar diperbolehkan untuk menginap semalam. Karena kasihan melihat rombongan yang sudah kelelahan tersebut I Kaki Lumintang menerima permohonan tersebut, namun I Kaki Lumintang ingin mengetahui terlebih dahulu dari mana kedatangan rombongan ini dan apa maksud dan tujuannya datang ke Badung.

Pintu Masuk Puri Pemecutan

Nararya Gde Raka kemudian menjelaskan maksud kedatangannya ke Badung untuk mengabdi kepada ramanda Gusti Ngurah Tengeh Kuri di Kerajaan Badung dan mereka adalah keturunan Nararya Notor Waringin dan juga pernah cucu dari Cokorde Mukules dari Puri Mentingguh Tabanan.

Mengetahui hal tersebut I Kaki Lumintang menundukkan diri memberi penghormatan untuk seorang putra raja. Keesokan harinya rombongan melanjutkan perjalanan untuk menuju Puri Tegah Kuri di Tegal dengan diantar oleh I Kaki Lumintang. Nararya Gde Raka diterima dengan tangan terbuka oleh Gusti Tegeh Kuri dan diperkenankan mengabdi di Badung dan diangkat sebagai putra ke tiga dan diberi nama Kiyai Nyoman Tegeh, karena Gusti Ngurah Tegeh Kuri sudah mempunyai 2 orang putra yaitu Kiyai Wayan Tegeh dan Kiyai Made Tegeh.

Untuk tempat tinggalnya, Kiyai Nyoman Tegeh dan semua keluarga serta I Tambyak dititipkan sementara di rumah I Mekel Tegal yang letaknya sekarang di sebelah barat Br Tegal Gede (pewarisnya I Nyoman Yasa). Pada suatu hari tiba tiba Gusti Ngurah Tegeh Kuri diserang penyakit lumpuh, seluruh anggota badannya sukar bergerak sehingga seluruh kegiatan pemerintahan mengalami gangguan. Kedua orang putra beliau yaitu Kiyai Wayan Tegeh dan Kiyai Made Tegeh tidak mampu menggantikan ayahnya sebagai kepala pemerintahan di Badung. Jiwa kepemimpinan serta kewibawaan masih sangat kurang, karena memiliki sifat pemalu dan rendah diri.

Tidak diduga dari Puri Gelgel mendadak ada perintah supaya Raja Badung segera menghadap ke Puri Gelgel karena adanya persoalan yang sangat penting yang menyangkut keamanan Pulau Bali. Bila Raja berhalangan hadir maka seorang Putra Raja diperbolehkan mewakili. Oleh karena Gusti Ngurah Tegeh Kuri dalam keadaan sakit maka beliau memerintahkan salah satu dari putranya untuk mewakilinya ke Puri Gelgel, namun kedua putranya menolak dengan alas n belum memiliki cukup pengalaman untuk melaksanakan tugas tersebut. Mendengar hal tersebut Gusti Ngurah Tegeh Kuri menjadi sangat murung memikirkan bagaimana nantinya kerajaan Badung di kemudian hari tanpa dirinya.

Dalam renungannya, timbul pikiran beliau untuk mengutus Kiyai Nyoman Tegeh sebagai wakil Kerajaan Badung untuk menghadap ke Puri Gelgel. Segera Kiyai Nyoman Tegeh dipanggil untuk menghadap dan setelah dijelaskan, Kiyai Nyoman Tegeh menerima dengan senang hati tugas yang diberikan kepadanya dan berjanji tugas tersebut akan dilaksanakan dengan penuh tanggung jawab. Diceritakan Kiyai Nyoman Tegeh sudah berangkat menuju Puri Gelgel dengan diiringi Ki Tambyak.

Didalam perjalanan sesampainya di Desa Sumerta Ki Tambyak dihina oleh penduduk setempat sambil bernyanyi dan tertawa tawa melihat penampilan Ki Tambyak yang serba hitam hanya giginya saja yang kelihatan putih. Mendengar penghinaan tersebut Ki Tambyak menjadi sangat marah, ia mengamuk bagaikan benteng kedaton, memukul dan menendang ke kanan dan kekiri.

Akhirnya kentongan dibunyikan oleh penduduk desa Sumerta yang menandakan bahwa ada orang yang mengamuk. Raja Sumerta Gusti Pasek Sumerta keluar dari purinya untuk menghadapi Ki Tambyak. Perkelahian terjadi dengan serunya namun akhirnya Gusti Pasek Sumerta tidak mampu menandingi Ki Tambyak sehingga beliau menyatakan menyerah dan tunduk kepada Kerajaan Badung. Mulai saat itu Desa Sumerta menjadi daerah kekuasaan Kerajaan Badung.

Setelah peristiwa tersebut Kyai Nyoman Tegeh kemudian melanjutkan perjalanan ke Puri Gelgel dan sesampainya beliau disana langsung menghadap Ida Dalem Waturenggong di bale penangkilan. Kyai Nyoman Tegeh diterima dengan baik oleh Ida Dalem Waturenggong dan Dalem menanyakan prihal keamanan di Kerajaan Badung, perbaikan pura pura dan hal lainnya yang kesemuanya dijawab dengan baik sehingga memuaskan hati Dalem Waturengong.

Karena sikapnya yang santun serta mempunyai wawasan yang luas tentang ilmu pemerintah Kyai Nyoman Tegeh dapat menarik simpati dari Dalem waturenggong sehingga beliau diminta lebih lama tinggal di Puri Gelgel mendampingi Dalem Waturenggong. Karena mempunyai kesan yang baik kepada Kiyai Nyoman Tegeh maka Dalem Waturenggong memberikan anugrah untuk bersama sama Gusti Ngurah Tegeh menjalankan pemerintahan di wilayah Badung, karena mengingat kondisi kesehatan Gusti Ngurah Tegeh yang tidak memungkinkan menjalankan pemerintahan kembali.

Setelah beberapa bulannya Kyai Nyoman Tegeh tinggal di Puri Gelgel, maka beliau pamit ulang kembali ke Badung. Singkat cerita sesampainya di Badung Kiyai Nyoman Tegeh menghadap Gusti Ngurah Tegeh Kuri untuk melaporkan hasil pertemuannya dengan Dalem Waturenggong dan menyampaikan titipan surat dari Ida Dalem Waturenggong untuk Gusti Ngurah Tegeh Kuri.

Dalem surat itu Dalem menyampaikan rasa puasnya kepada Kiyayi Nyoman Tegeh sebagai utusan dari Kerajaan Badung yang mempunyai wawasan yang luas tentang ilmu pemerintahan sehingga sangat menawan hati Dalem Waturenggong. Kemudian mengingat kondisi kesehatan Gusti Ngurah Tegeh Kuri sebagai kepala pemeritahan di Badung mengalami suatu hambatan, maka untuk melaksanakan tugas tugas pemerintahan di wilayah Badung agar diberikan kepada Kiyai Nyoman Tegeh.


PERANG TANDING DENGAN KIYAYI PLASA


Pada saat bertahta, Kyayi Nyoman Tegeh, pernah dikirim bertempur oleh Dalem , bersama Kyayi Ngurah Telabah di Kuta, dan Kyayi Ngurah Tabanan, menyerang I Kebo Mundar di Sasak. Kyayi Telabah melarikan diri karena dikalahkan oleh Kebo Mundar, kemudian digantikan oleh Kyayi Anglurah Tabanan dan Badung, hingga Ki Kebo Mundar takut dan takluk.
Dalem menghukum Kyayi Telabah, dengan menyerahkan rakyat kekuasaannya kepada Raja Badung. Namun Kyayi Telabah tidak mentaati, maka timbul bentrokan antara Badung dengan Kuta.
Seorang utusan melaporkan bahwa Kyai Wayan Tegeh putra tertua Gusti Ngurah Tegeh Kuri terlibat perkelahian dengan Kiyai Plasa di Mergaya Abiantimbul. Perkelahian tersebut sudah dari sejak pagi, karena sama sama kebal dan sakti maka tidak seorangpun keluar sebagai pemenang, akhirnya perkelahian dihentikan karena hari sudah menjelang malam. Kyai Nyoman Tegeh memberikan nasehat kepada kakaknya Kyai Wayan Tegeh Kuri, bila besok kembali berhadapan dengan Kiyai Plasa maka Kiyai Wayan Tegeh jangan sekali kali mandi di sungai Kuta sebab air sungai tersebut dapat menghilangkan kekebalan.

Dan sesuai dengan yang sudah dijanjikan esok harinya perang tanding kembali di mulai, Kiyai Plasa nampak dibantu oleh Kyai Petiles dari Pekambingan. Perang tanding menjadi tidak seimbang satu melawan dua sehingga menyebabkan Kyai Wayan Tegeh kehabisan nafas dan dihinggapi rasa haus yang tak tertahankan. Beliau kemudian terjun ke sungai Kuta, membasahi tubuhnya untuk menghilangkan rasa lelah dan haus, beliau lupa akan pesan adiknya yang melarangnya untuk mandi di sungai kuta selama perang tanding berlangsung.

Setelah matahari condong ke Barat perang tanding di mulai lagi dengan serunya, kedua belah pihak berusaha saling menjatuhkan lawannya. Tiba tiba dalam satu kesempatan Kiyai Plasa berhasil menghunus keris langsung ke perut Kyai Wayan Tegeh. Karena sudah hilang kekabalannya maka keris tersebut langsung menancap di perut Kyai Wayan Tegeh sehingga beliau terpelanting dan mengembuskan nafasnya yang terakhir.

Perang tanding dihentikan dan kemenangan berada di pihak Raja Plasa. Berita kematian Kyai Wayan Tegeh, menimbulkan kemarahan dari Kyai Nyoman Tegeh dan berjanji akan menuntut balas atas kematian kakaknya. Kyai Nyoman tegeh kemudian mengambil keris sakti untuk menandingi Kyai Plasa. Singkat cerita ditengah jalan beliau dihadang oleh Kiyai Plasa dan Kiyai petiles yang sudah siap berperang dengan keris terhunus.

Kiyayi Nyoman Tegeh menghadapi kedua musuhnya dengan tenang dan waspada. Pergulatan dimulai saling tindih dan tusuk untuk mengadu kekabalan. Dan pada suatu kesempatan yang baik Kyai Nyoman Tegeh berhasil menusuk perut Kiyai Plasa sehingga menghembuskan napasnya terakhir.

Kiyayi Petiles kemudian ganti menghadapi Kiyai Nyoman Tegeh, namun seperti Kiyai Plasa yang telah tewas, nasib Kiyai Petilespun sama, dadanya tertikam oleh keris Kiyai Nyoman Tegeh sehingga terkapar tak berdaya. Namun sebelum Kiyai Petiles menghembuskan napasnya yang terakhir, beliau menyatakan tunduk kepada Kerajaan Badung dan semua daerah yang menjadi kekuasaannya diserahkan kepada Kerajaan Badung. Karena kekalahan tersebut maka semua keluarga Kiyai Petiles diturunkan wangsanya menjadi rakyat biasa.

Peristiwa Pertempuran di Puri Pemecutan dalam Puputan Badung 1906

Setelah kekalahan Kiyai Petiles maka seluruh rakyatnya menyatakan tunduk kepada Kerajaan Badung.

Kyayi Jambe Pule mempunyai putra yang bernama Kiyai Anglurah Pemedilan dan Anak Agung Istri Jambe. Kedua anak beliau lahir di Pemedilan di rumah Ki Tanjung Gunung (sebelah utara Pura Tambangan Badung) Nararya Gde Raka mendirikan Puri Pemecutan Setelah mendapat anugrah dari Dalem Waturenggong untuk menjalankan pemerintahan di Badung, maka beliau mulai memperluas wilayah kerajaan Badung.

Puri Sumerta berhasil ditaklukkan terbukti salah satu Pura Khayangan di Sumerta setiap hari purnama kedasa selalu datang hadir ke Pura Tambangan Badung sebagai prasanak pura Kerajaan Badung. Beliau diberi gelar Kiyai Jambe Pole, Pole berasal dari kata polih yang artinya mendapatkan kekuasaan. Dan untuk melaksanakan pemerintahan, beliau mendapat panjak (rakyat) sebanyak 500 orang dari Gusti Ngurah Tegeh Kuri dan dinobatkan menjadi Raja I di Puri Agung Pemecutan. Karena beliau mendapat anugrah dari Bhatari danu Batur berupa senjata sakti Pecut dan Tulupan maka Kerajaan yang beliau dirikan diberi nama Puri Pemecutan.

Beliau sebagai cikal bakal pendiri Puri kerajaan Badung yang mengambil nama dari suku kata “Pecut” sebagai rasa hormat dan sujud bakti atas anugrah yang beliau terima dari Sang pencipta berupa senjata Pecut Sakti.


ANUGRAH RAJA BADUNG UNTUK KI TAMBYAK

Seperti yang telah diceritakan diatas bahwa Ki Tambyak sangat berjasa mengiringi Kiyayi Jambe Pule dari sejak di pura Ulun Danu sampai beliau menjadi Raja di Badung, maka untuk membalas budi kepada Ki Tambyak/ Ki Handagala maka Raja Badung mengeluarkan amanat bahwa Ki Tambyak dan Keturunannya tidak boleh dihukum mati sebesar apapun kesalahannya dan amanat ini berlaku seterusnya bagi Raja selanjutnya yang berkuasa di wilayah Badung.



Daftar Pustaka :

    1. Lahirnya Puri Agung Pemecutan Badung / A.A. Oka Puji - Jero Dawan Tegal
    2. Sejarah Puri Gerenceng Pemecutan / A.A. Made Kaler
    3. Babad Badung / Puri Gede Kerambitan
    4. Babad Arya Tabanan/ Puri Tabanan
    5. Sejarah Raja Raja di Tabanan dan Badung
    6. Bali Abad XIX / Anak Agung Gde Agung
    7. Riwayat Berdiri sampai Runtuhnya Kerajaan Singasana Tabanan/ I Gst Made Aman
    8. Babad Dalem / Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Prop.
    9. Bali Usana Bali Usana Jawa / Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Prop. Bali
    10. Darma Negara Warga Ageng Pemecutan / I Gusti Bagus Saputra
    11. Silsilah Orang Suci dan Orang Bali
                                                                 Om Swasti Astu
Sebelumnya penulis mohon maaf bila ada kekeliruan atas penulisan sejarah ini, untuk itu mohon koreksi serta masukan untuk menyempurnakan blog ini sehingga diperoleh fakta sejarah yang nantinya benar benar diterima oleh semua pihak dan beguna bagi generasi yang akan datang.
Om Canti Canti Canti Om

Dr. Anak Agung Ngurah Adhiputra, MPd. & Istri Jero Mangku Intan 
(Partisentana : Kyayi Agung Lanang Dawan Pemecutan)